TANDA IRADAH LURUS

Senin, 27 April 2009 | 0 komentar

Iradah yang lurus harus dimiliki oleh setiap orang selain tashawur yang benar, jika dia ingin senantiasa memiliki kualitas iman yang baik. Lurusnya iradah, menurut Ibnul Qayyim ditandai dengan hal-hal berikut ini:

أَنْ يَكُوْنَ هَمُّ الْمُرِيْدِ رِضَى رَبِّهِ وَاسْتِعْدَادُهُ لِلِقَائِهِ وَحُزْنُهُ عَلَى وَقْتٍ مَرَّ فِيْ غَيْرِ مَرْضَاتِهِ

"Hendaklah semangat orang yang beriradah adalah mencari ridha Rabb-nya, persiapannya adalah untuk perjumpaan dengan-Nya, dan kesedihannya adalah karena waktu yang terlewatkan bukan dalam rangka mencari ridha-Nya."

Sudah luruskah iradah kita?

Konsep 'Izzuddin bin 'Abdussalam tentang Maslahat

Rabu, 08 April 2009 | 0 komentar



'Izzuddin bin 'Abdussalam, seorang ulama bermadzhab Syafi'i yang wafat pada tahun 660 H menulis sebuah kitab yang diberi judul Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam. Kitab ini menjelaskan berbagai maslahat yang terkandung di dalam amal ibadah, muamalat, dan berbagai aktivitas seorang hamba (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 11).

Peran Akal dalam Menentukan Maslahat
Lebih lanjut 'Izzuddin menyatakan bahwa agama Islam datang untuk memosisikan dua maslahat dan menegasikan dua mafsadat. Maslahat dunia dan maslahat akhirat; dan mafsadat dunia dan mafsadat akhirat.
Maslahat dan mafsadat dunia umumnya dapat diketahui dengan akal. Sebab sebelum wahyu turun pun, masyarakat Jahiliyah –dan manusia di mana saja– sudah berlomba-lomba di dalam mencari maslahat dunia dan berlari dari mafsadatnya (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 8). Akan halnya maslahat dan mafsadat akhirat, maka hanya dapat diketahui dengan syara'. Tentu saja keterlibatan akal di dalam penyelesaian berbagai kasus hukum tetap dibutuhkan. Pun syara' memperkenankan penggunaan Qiyas yang mu'tabar dalam penetapan hukum (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 11).

Hakikat maslahat dan mafsadat
Dalam pandangan 'Izzuddin, sedikit sekali perkara yang mengandung maslahat ansich atau mafsadat ansich. Yang banyak adalah perkara yang mengandung kedua-duanya. Dasarnya adalah hadit Nabi saw yang berbunyi,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ (رواه مسلم)
Surga itu dikelilingi oleh perkara-perkara yang tidak disukai, sedangkan neraka itu dikelilingi oleh perkara-perkara yang disenangi (HR. Muslim)

Perkara-perkara yang mengantarkan ke surga adalah maslahat tetapi juga mafsadat ditinjau dari realitanya yang seringkali menyulitkan dan menyakitkan. Sedangkan perkara-perkara yang mengantarkan ke neraka adalah mafsadat tetapi juga maslahat ditinjau dari realitanya yang menyenangkan. Pada galibnya, manusia lebih mendahulukan perkara yang maslahatnya lebih kuat dan meninggalkan perkara yang mafsadatnya lebih besar. Karena itulah –karena kasih sayang Allah– disyariatkan penegakan hukum Hudud dan Ta'zir terhadap berbagai pelanggaran yang akan menjerumuskan seseorang ke jurang neraka (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 14).

Masalahat dan mafsadat dibagi menjadi wasilah dan tujuan
Perkara-perkara yang diwajibkan dan disunnahkan ada dua: yang merupakan tujuan dan yang merupakan wasilah. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang diharamkan dan dimakruhkan. Hukum wasilah sama dengan hukum tujuan; wasilah kepada tujuan yang paling utama adalah wasilah yang paling utama.
Kemudian, wasilah-wasilah itu bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan maslahat dan mafsadat. Siapa saja yang bisa mengetahui tingkatan-tingkatan maslahat dan mafsadat ini, maka dia tahu perkara-perkara yang mesti didahulukan dan diakhirkan, mana yang mesti ditanggung dan dibuang (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 39-40).

Tingkatan-tingkatan maslahat dan mafsadat
Menurut 'Izzuddin bin 'Abdussalam, secara global tingkatan maslahat ada dua. Pertama, maslahat yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Maslahat yang diwajibkan ini dapat diklasifikasi menjadi tiga; maslahat yang afdhal, maslahat yang fadhil, dan maslahat yang berada di antara keduanya. Maslahat yang afdhal adalah maslahat yang tertinggi, yakni maslahat yang menegasikan mafsadat yang paling besar, sekaligus mendatangkan maslahat yang paling rajih. Contoh dari maslahat yang afdhal ini adalah iman kepada Allah. Sesungguhnya Rasulullah saw. Pernah ditanya tentang amalan yang paling utama; dan beliau menjawab, "Yaitu iman kepada Allah." Beliau ditanya lagi tentang amalan yang berada di tingkat bawahnya; dan beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." (H.R. al-Bukhariy)

Kedua, maslahat yang disunnahkan oleh Allah. Yakni maslahat yang diserukan oleh Allah demi memperbaiki keadaan sekalian hamba. Yang perlu dicatat adalah bahwa kedudukan maslahat tertinggi dari maslahat yang disunnahkan ini masih di bawah kedudukan maslahat terrendah dari maslahat yang diwajibkan. Maknanya, amalan wajib tidak boleh dikalahkan –bagaimana pun– oleh amalan sunnah (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 40-41).

Mafsadat juga ada dua. Pertama, mafsadat yang diharamkan oleh Allah untuk didekati. Dan kedua, mafsadat yang dimakruhkan oleh Allah untuk didekati. Mafsadat yang diharamkan untuk didekati diklasifikasikan menjadi tiga: mafsadar kabir (besar), mafsadat akbar (lebih besar), dan mafsadat yang berada di antara keduanya. Rasulullah saw. pernah ditanya tentang dosa yang paling besar. Beliau menjawab, "Menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu." Beliau ditanya, berikutnya apa? Beliau menjawab, "Membunuh anak karena khawatir anak itu ikut makan harta." Beliau ditanya lagi, kemudian apa? Beliau menjawab, "Berzina dengan istri tetangga." (H.R. al-Bukhariy dan Muslim)

Mafsadat yang dimakruhkan pun bertingkat-tingkat, dari yang mendekati mafsadat yang diharamkan sampai yang mendekati perkara yang dibolehkan (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 41).

Jika maslahat dan mafsadat saling menegasikan
Jika dua maslahat bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan, maka jika diketahui mana yang lebih rajih, yang lebih rajih itulah yang dikedepankan. Jika tidak diketahui, sesungguhnya sebagian ulama akan mengetahui mana yang lebih rajih, sehingga yang lebih rajih itulah yang dikedepankan. Mungkin ulama lain memandang yang tidak dikedepankan oleh ulama yang lain sebagai maslahat yang rajih sehingga dia mengedepankannya. Kedua ulama mujtahid itu sama-sama mendapatkan maslahat atau salah satunya yang mendapatkan maslahat, sedangkan yang lain ma'fuw 'anhu (dimaafkan).

Yang demikian ini berlaku pula untuk pertentangan antara maslahat dan mafsadat.( Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 43-44)

Bagaimana jika seseorang melakukan suatu mafsadat, sedangkan dia mengiranya sebagai maslahat?
Menurut 'Izzuddin, jika seseorang melakukan suatu mafsadat, sedangkan dia mengiranya sebagai maslahat; misalnya seseorang mengkonsumsi makanan yang dikiranya miliknya padahal sebanarnya bukan, maka orang itu tidak berdosa. Perbuatannya itu tidak disebut sebagai perbuatan baik maupun perbuatan maksiat. Tidak pula disebut sebagai perbuatan yang mubah. Hanyasanya perbuatannya itu ma'fuw 'anhu (dimaafkan); disejajarkan dengan perbuatan anak kecil atau orang gila. Tentu saja orang itu masih berkewajiban menanggung kerusakan atau kerugian yang dilakukannya terhadap pihak lain.

Wallahu a'lam.

Belajar dari Doa Musa

Salah satu bukti pengagungan kita terhadap al-Qur`an adalah mengambil berbagai pelajaran dari kisah-kisah yang dimuat di dalamnya. Allah menyebut orang-orang yang mau mengambil pelajaran itu sebagai orang-orang yang punya mata hati, ulil abshar.

Di antara surat-surat yang ada di dalam al-Qur`an, surat al-Qashash adalah surat yang memuat fragmen kehidupan Nabi Musa secara lengkap. Sejak beliau masih bayi sampai dewasa dan berhasil mengibarkan penji-panji tauhid dengan menyeberangi laut Merah dan tenggelamnya Fir'aun di sana.

Tiga Doa
Surat al-Qashash mengabadikan tiga doa yang pernah dilantunkan oleh pemuda Musa—saat itu belum menikah dan belum diangkat sebagai Nabi. Tidak mungkin seumur hidupnya, Nabi Musa hanya memanjatkan tiga doa saja. Pasti banyak sekali doa yang pernah beliau lantunkan, apatah lagi setelah beliau diangkat sebagai Nabi. Oleh karena itulah, ketiga doa yang tercatat abadi dan telah dibaca oleh jutaan umat ini pasti memiliki nilai lebih. Ketiga doa itu adalah:

a. Doa yang dipanjatkan oleh Musa setelah beliau tanpa sengaja membunuh seorang Kopti. Doa itu berbunyi,
رَبِّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لي
"Wahai Rabb-ku! Sesungguhnya aku telah berbuat zhalim kepada diriku sendiri. Ampunilah aku." (Q.S. al-Qashash: 16)

b. Doa yang dilantunkan oleh Nabi Musa seteah beliau mendengar kabar konspirasi pembunuhan yang ditujukan kepada beliau. Doa itu berbunyi,
رَبِّ نَجِّنِي مِنَ القَوْمِ الظَّالِمِينَ
"Wahai Rabb-ku! Selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim." (Q.S. al-Qashash: 21)

c. Doa yang dibaca oleh Nabi Musa ketika beliau sedang kelelahan dan kelaparan di negeri Madyan.
رَبِّ إنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
"Wahai Rabb-ku! Sesungguhnya aku teramat butuh kepada turunnya kebaikan-Mu kepadaku." (Q.S. al-Qashash: 24)

Fiqh Doa Musa
Dalam ketiga doa di atas, Musa memulai doa-doanya dengan lafal "Rabbi" yang bermakna "Wahai Rabb-ku!". Kata ini menunjukkan bahwa meski di usia yang masih belia, keimanan Musa telah mencapai derajat yang tinggi. Nyaris sempurna. Demikian pula halnya dengan tauhidnya. Tauhid yang murni. Pun dengan pemahamannya akan segala kekuatan untuk berbuat baik dan daya tahan dari melanggar yang dilarang dan diharamkan oleh Allah. Semua itu tidak pernah terwujud tanpa bantuan Allah.

Saat memanjatkan doa, "Wahai Rabb-ku! Sesungguhnya aku telah berbuat zhalim kepada diriku sendiri. Ampunilah aku!" Musa memahami dan bermakrifah bahwa hanya Allah yang dapat mengampuni dosa yang telah diperbuatnya; Dia al-Ghafur dan al-Ghaffar.

Saat melantunkan doa, "Wahai Rabb-ku! Selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim." Musa memahami dan bermakrifah bahwa hanya Allah yang dapat menyelamatkannya dari kejaran musuh. Bersembunyi di mana pun, jika Allah tidak menyelamatkannya, dia pasti tertangkap. Dengan cara-Nya Allah akan melindungi dan menyelamatkan hamba-Nya.

Dan saat mengadu, "Wahai Rabb-ku! Sesungguhnya aku teramat butuh kepada turunnya kebaikan-Mu kepadaku." Musa tahu dan mengerti bahwa hanya Allah yang dapat memberi rizki yang baik. Musa bermakrifah bahwa Allah adalah ar-Razzaq.

Seiring dengan setiap doa yang dipanjatkannya, Musa senantiasa mengiringinya dengan pengharapan agar doa-doanya itu dikabulkan. Dan doa-doa Musa memang terkabul. Terkabulnya doa yang sejalan dengan dengan hikmah dan ilmu Allah. Dia Maha Mengetahui segala hakikat dan akhir setiap peristiwa. Allah mengabulkan permohonan seorang hamba, jika di sana ada kebaikan dunia akhirat seorang hamba. Dan begitu pula dengan doa Musa as. Allah mengabulkannya seiring dengan hikmah-Nya.

Setelah doanya yang pertama, Allah menyatakan
فَغَفَرَ لَهُ إنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Maka (Allah) mengampuninya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. al-Qashash: 16)

Setelah doanya yang kedua, Musa melangkahkan kaki untuk berusaha mencari keselamatan. Berusaha setelah berdoa. Ibnu 'Athiyah menyatakan, Musa berjalan tanpa teman tanpa arah yang pasti. Dia hanya berbekal kepercayaannya kepada Allah. Dia hanya berucap,
عَسَى رَبِّي أَن يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ
"Semoga saja Rabb-ku membimbingku jalan yang benar." (Q.S. al-Qashash: 22)

Akhirnya sampailah Musa ke negeri Madyan. Negeri yang berada di luar wilayah kekuasaan Fir'aun. Itulah sebabnya orang tua dua gadis yang ditolongnya berkata,
لا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ القَوْمِ الظَّالِمِينَ
"Jangan khawatir, kamu sudah selamat dari kaum yang zhalim itu." (Q.S. al-Qashash: 25)

Doa keselamatan yang dipanjatkan Musa telah dikabulkan.
Doa yang ketiga pun dikabulkan oleh Allah. Allah mengabarkan,
فَجَاءَتْهُ إحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan malu-malu, ia berkata, 'Sesungguhnya ayahku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami'." (Q.S. al-Qashash: 25)

Maka Musa yang dalam keadaan letih dan lapar mendapatkan semua kebaikan rizki dari Allah. Bermula dari jamuan tamu, kemudian dinikahkan dengan perempuan yang berakal, suci, dan menjaga kehormatannya, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jiwanya yang merdeka, senang bertafakkur, dan memperhatikan alam raya.
 
Copyright © -2012 imtihan syafii All Rights Reserved | Template Design by Favorite Blogger Templates | Blogger Tips and Tricks