BERHARAP MASLAHAT TIDAK MERUSAK KEIKHLASAN

Selasa, 23 Juni 2009 | 0 komentar


"Shalat itu melapangkan rizki, menjaga kesehatan, mengusir marahabaya, menepis penyakit, menguatkan hati, membuat wajah cemerlang, menjadikan jiwa selalu berseri-seri, menghilangkan rasa malas, mengundang semangat anggota badan, menambah kekuatan, melapangkan dada, menutrisi ruhani, membuat hati bercahaya, menjaga nikmat, mencegah musibah, mendatangkan barokah, menjauhkan diri dari setan dan mendekatkan diri kepada ar-Rahman." Demikianlah sebagian maslahat yang ada pada shalat, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jawziyah.
Bagi sebagian muslim yang dangkal ilmunya, pernyataan murid Ibnu Taimiyah di atas mengandung tanda tanya. Bagaimana jika seorang muslim mengerjakan shalat dengan tujuan memperoleh berbagai maslahat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim di atas? Apakah hal itu merusak keikhlasannya? Jika hal itu merusak keikhlasan, kenapa ulama sekaliber Ibnul Qayyim bercapek-capek memaparkan berbagai maslahat shalat? Mungkinkah secara sadar Ibnul Qayyim menyebutkan sesuatu yang tidak bermanfaat atau bahkan berpotensi mencelakakan umat?
Menurut sebagian muslim yang dangkal ilmunya, orang yang mengerjakan amal ibadah dengan tujuan memetik buahnya dan memperoleh imbalan dari Allah atau keuntungan lainnya, berarti ia telah menodai tujuan sejati ibadah, yaitu mengharapkan keridhaan Allah. Menurut mereka, selagi masih ada keinginan lain di samping ridha-Nya, seseorang masih menyekutukan Allah. Musyrik.

Boleh berharap maslahat
Pendapat seperti tersebut di atas tidaklah benar. Para ulama salaf yang mendalam ilmunya sepakat bahwa syariat datang dengan membawa maslahat bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Para ulama telah membuktikan kebenaran hal ini berdasarkan penelitian mereka terhadap al-Qur`an dan al-Hadits. Menurut mereka—bahwa syariat datang dengan membawa masalahat—selalu dapat dijumpai dalam seluruh detail syariat. Pencarian bukti-bukti seperti itu akan sangat berguna bagi pengetahuan kita, karena memang begitu banyak dalil yang membuktikan kebenaran pernyataan itu. (Al-Muwafaqat, asy-Syathibiy, 2/3-4)
Memang setiap mukallaf dilarang menjadikan amal ibadahnya sebagai alat untuk memperoleh keuntungan duniawi seperti yang dilakukan oleh orang-orang munafik. Setiap mukallaf dituntut untuk memusatkan tujuannya hanya pada kemaslahatan yang ditetapkan oleh syariat. Tetapi, ini bukan berarti kita dilarang mengharapkan kebaikan apa pun dari ibadah yang kita lakukan. Pengharapan ini sama sekali tidak bertentangan dengan konsep ikhlas, selama kita tetap berpijak di atas tuntunan dan tuntutan syariat.

Isyarat al-Qur`an dan as-Sunnah
Bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa orang yang hendak bersuci—berwudhu atau mandi wajib—tidak boleh berkeinginan untuk membersihkan atau menghilangkan bau badan di samping niat ibadah kepada Allah? Ketika cuaca panas, bagaimana mungkin kita mencegah keinginan untuk menyejukkan atau menyegarkan tubuh? Apakah karena menginginkan hal itu kemudian kita menyebut amalnya rusak atau batal?
Apakah keliru jika kita meniatkan zakat atau sedekah yang kita keluarkan dengan tujuan menutup jurang kemiskinan, bersilaturrahim, dan berbuat baik kepada sesama? Apakah tujuan-tujuan ini bertentangan dengan keikhlasan?
Apakah orang yang telah merasakan lezat dan bahagianya beribadah mampu menepis tujuan memperoleh kenikmatan itu? Sedangkan Rasulullah saw. telah menyatakan,
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
"Dijadikan penyejuk hatiku ada pada shalat." (Silsilah Ahadits Shahihah, no. 1809)
Tidak bolehkan seorang yang mengerjakan shalat berharap dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. Jika tidak boleh, apa yang harus kita lakukan dengan firman Allah berikut ini?
"Dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (Q.S. al-'Ankabut: 45)
Kelirukah kita mengharapkan selalu mendapatkan solusi dari berbagai masalah yang kita hadapi, rizki yang tak terduga, dan dimudahkan segala urusan kita dengan bertakwa kepada Allah? Dengan senantiasa menjalankan semua perintah-Nya semampu kita dan meninggalkan semua larangan-Nya? Jika kita keliru, lantas bagaimana kita membaca ayat-ayat berikut ini?
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka." (Q.S. ath-Thalaq: 2-3)
"Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (Q.S. ath-Thalaq: 4)
Akhirnya ada satu ayat yang secara tegas menyanjung orang yang mencari dua kebaikan sekaligus, kebaikan dunia dan akhirat.
"Dan di antara mereka ada yang berdoa, 'Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.' Mereka itulah orang yang mendapatkan bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat hisab-Nya." (Q.S. al-Baqarah: 201-202)
Maka tidaklah keliru jika kita mengharapkan banyak kebaikan dari amal ibadah kita. Kebaikan yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Wallahul Muwaffiq.

LARI MENUJU ALLAH

فَفِرُّوْا إِلَى اللهِ
"Maka berlarilah menuju Allah!" (Adz-Dzariyat: 50)
Dalam bahasa Arab, kata al-firar yang berarti berlari biasanya digunakan untuk mengungkapkan lari dari sesuatu yang ditakuti. Lari karena dikejar singa, anjing gila, atau musuh misalnya. Untuk lari mengejar sesuatu digunakan kata yang lain: jara-yajri-jirayah.
Apabila seseorang berlari karena dikejar singa, dia pasti akan fokus kepada upaya penyelamatan dirinya. Dia tidak akan peduli jika—misalnya—ada duri atau paku yang menusuk kakinya. Dia tidak akan peduli juga jika—misalnya—seseorang memintanya untuk berhenti dan akan diberi setumpuk harta. Dia tetap akan berlari sekencang-kencangnya.
Dengan firman-Nya ini Allah memerintahkan kita semua supaya berlari menuju Allah. Berlari menuju kepada-Nya seperti bila kita berlari dikejar singa. Berlari kencang tanpa mempedulikan rasa sakit yang mungkin dirasa raga atau terpedaya oleh bujuk-rayu dunia.
Dalam karya monumentalnya, Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim al-Jawziyah menerangkan, langkah awal dari berlari kepada Allah ini meliputi tiga hal. Berlari dari kejahilan menuju ilmu, berlari dari kemalasan menuju semangat, dan berlari dari sesaknya dada menuju kelapangannya.
Dari kejahilan menuju ilmu
Orang yang jahil menurut Islam bukan hanya orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang sesuatu. Orang yang pengetahuan dan cakrawala berpikirnya luas pun bisa menjadi orang yang jahil. Menurut Islam, ilmu meliputi pengetahuan tentang kebenaran dan mengamalkan kebenaran yang telah diketahui itu.
Ketika Nabi Yusuf as. dipaksa untuk berbuat nista, beliau—sebagaimana diabadikan oleh Allah dalam surat Yusuf: 33—mengadu, "Wahai Rabb-ku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Jika Engkau tidak menghindarkan aku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil."
Mengetahui bahwa perbuatan zina adalah perbuatan yang buruk tidak mengeluarkan seseorang dari kejahilan sampai dia menjauhinya. Demikian pula dengan perintah dan larangan Allah yang lain. Mengetahui bahwa shalat itu wajib tidak mengeluarkan seseorang dari kejahilan sampai dia menegakkannya.
Amru bin Hisyam yang sebelum datangnya Islam digelari dengan Abul Hakam karena kecerdasan dan ketinggian ilmunya, mendapatkan gelar Abu Jahal karena tidak mau mengikuti kebenaran. Amru bin Hisyam pasti memahami dan dapat mencerna semua yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Tetapi karena ilmunya tidak diikuti dengan pengewantahan, dia tidak dianggap sebagai orang yang berilmu. Sebaliknya, dia dinyatakan sebagai orang yang jahil.
Dari kemalasan menuju semangat
Ibnul Qayyim menyatakan bahwa sifat malas, menunda-nunda amal, berandai-andai, dan yang sejenis dengannya sangat berbahaya bagi seseorang. Kemalasan laksana pohon yang hanya membuahkan kerugian dan penyesalan.
Ada beberapa ayat al-Qur`an yang mengisyaratkan agar kita menerima semua perintah Allah dengan segenap kesungguhan, penuh semangat. Allah berfirman,
خُذُوا مَا آَتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Peganglah dengan teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa." (Al-Baqarah: 63)
وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً وَتَفْصِيلًا لِكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ
"Telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh itu segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu. Maka (kami berfirman), 'Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang pada (perintah-perintah-Nya) dengan sebaik-baiknya!'." (Al-A'raf: 145)
Setiap muslim mesti berlari meninggalkan rasa malasnya menuju keteguhan dan semangat yang senantiasa berapi-api dalam segala kebaikan.
Dari dada sesak menuju dada lapang
Berikutnya hendaklah setiap muslim meninggalkan dadanya yang sesak sesegera mungkin menuju dada yang lapang. Sesaknya dada seseorang biasa datang saat dia khawatir dan gundah mengenai kemaslahatan dirinya, hartanya, atau keluarganya. Dia murung dan menekuknya wajah apabila ada ancaman terhadap diri, harta, atau keluarganya.
Ancaman yang hakiki adalah ancaman yang datang dari Allah. Ancaman yang datang hanya jika seseorang melanggar aturan-aturan-Nya. Ancaman yang datang dari selain Allah hanyalah ancaman yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan ancaman-Nya.
Sebenarnya jika seseorang tsiqqah (percaya) kepada Allah, bertawakal dengan benar, dan berbaik sangka kepada-Nya setelah berusaha untuk bertakwa kepada-Nya dg segenap kemampuannya, niscaya dadanya akan lapang. Ini sudah dijanjikan Allah. Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar (dari semua persoalan) baginya dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya " (Ath-Thalaq: 2-3)
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
"Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (Ath-Thalaq: 3)
Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Allah berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي
"Aku ada pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersama-Nya jika Dia berdoa kepada-Ku."
Maka mari kita berlomba berlari menuju Allah. Wallahul muwaffiq. (azm)
 
Copyright © -2012 imtihan syafii All Rights Reserved | Template Design by Favorite Blogger Templates | Blogger Tips and Tricks