INDIKASI SEHAT-SAKITNYA HATI

Rabu, 29 Juli 2009


Apabila hati yang sehat dihadapkan kepada kebatilan dan perkara-perkara yang buruk, niscaya akan lari, membencinya, dan tidak menoleh kepadanya. Berbeda dengan hati yang sakit. Dia tidak membedakan antara yang baik dan yang buruk, seperti dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud, “Binasalah seseorang yang hatinya tidak dapat mengenali mana yang makruf dan mana yang mungkar.” Demikian pula halnya dengan hati yang sakit karena syahwat. Disebabkan kelemahannya dia cenderung kepada kemaksiatan. Seberapa parah penyakitnya, sekuat itu pula kecendungannya kepada kemaksiatan.
Terkadang penyakit yang diderita hati bertambah parah namun si pemilik hati tidak menyadarinya. Sebabnya, si pemilik hati tidak peduli dan tidak mau tahu tentang bagaimana menjaga kesehatan hati dan bagaimana menyembuhkannya apabila sakit. Bahkan ada pemilik hati yang tidak tahu dan tidak sadar bahwa hatinya telah mati. Apabila luka-luka kemaksiatan sudah tidak dirasakan, apabila ketidaktahuannya terhadap kebenaran dan kesesatan akidahnya sudah tidak membuatnya menderita, maka itulah pertanda kematian hati. Hati yang masih memiliki nyawa, pastilah merasa tidak nyaman dengan hadirnya keburukan dan ketidaktahuannya terhadap kebenaran. Raga tanpa nyawa tak akan merasakan sakit meski ditusuk dengan pisau belati.
Ada pula yang menyadari kalau hatinya sakit. Tetapi karena dia tidak tahan dan tidak bersabar untuk menanggung pahitnya obat, dia lebih memilih memiliki hati yang sakit. Obat penyakit hati adalah menyelisihi hawa nafsu. Hal itu memang amat berat, tetapi itulah yang paling bermanfaat bagi dirinya.
Ada pula sejenak bertahan dan bersabar, namun tak seberapa lama tekadnya memudar. Penyebabnya adalah minimnya ilmu, bashirah, dan kesabarannya. Seperti seseorang yang harus melewati jalan yang mengkhawatirkan untuk sampai ke tempat yang aman. Dia tahu, jika dia bersabar untuk berjalan melaluinya, ketakutannya akan sirna dan buahnya adalah keamanan yang langgeng. Dia membutuhkan kesabaran ekstra dan keyakinan yang penuh untuk bisa melaluinya. Jika kesabaran dan keyakinannya berkurang lalu dia kembali pulang, dia tidak akan pernah sampai.
Pertanda hati yang sakit hati adalah jika dia berpaling dari nutrisi yang bermanfaat dan obat yang menyembuhkannya serta lebih memilih bahan beracun dan obat yang dapat membinasakannya. Ada empat hal: nutrisi yang bermanfaat, obat yang mengantarkan kepada kesembuhan, bahan beracun, dan obat yang membinasakan.

BERMAKSIAT DENGAN NIAT IBADAH


Kita sering mendengar bahwa semua aktivitas kita, selain amalan yang termasuk ibadah mahdhah, bisa bernilai ibadah jika disertai dengan niat. Makan, minum, tidur, jalan-jalan, mengobrol, dan semua perkara mubah lainnya bisa mendatangkan pahala bagi kita. Lantas bagaimana jika seseorang berbuat maksiat dengan niat beribadah kepada Allah? Dalam hal ini orang-orang yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad saw. terkelompokkan menjadi tiga.

Salah tafsir
Pertama, mereka yang menganggap perbuatan maksiat dan dosa dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk ibadah. Misalnya, orang yang senang melihat wajah gadis yang cantik dan menganggapnya sebagai perbuatan yang diperintahkan oleh syariat atau mengira hal itu sebagai ibadah yang dapat menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah.
Mereka melandasi pendapatnya dengan sebuah ayat, "Apakah mereka tidak memerhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah?" (Q.S. al-A'raf: 185)
Menurut mereka, ayat ini bersifat umum, mencakup semua jenis ciptaan Allah, termasuk wajah gadis yang cantik. Bukankah wajah yang cantik termasuk ciptaan Allah yang paling baik dan paling indah?
Mereka telah memahami ayat ini secara keliru, tidak sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Maksud dari "memerhatikan" pada ayat di atas adalah memerhatikan dengan tujuan supaya kita mengenal Allah, beriman kepada-Nya, dan membuktikan kebenaran para rasul tentang semua perkara yang mereka sampaikan. Sementara memandang wajah gadis yang cantik atau pemuda yang rupawan yang menimbulkan hasrat membangkitkan syahwat tegas dilarang oleh Allah. Allah berfirman,
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya." (Q.S. an-Nur: 30)
Nabi saw. bersabda, "Zina mata adalah memandang." (H.R. al-Bukhari)
Sebagian mereka bahkan bertindak berlebihan. Mereka mengemas perbuatan haram dengan kemasan ibadah dan kebaikan. Mereka mengklaim, cinta mereka kepada gadis-gadis yang cantik dan para pemuda yang tampan semata-mata karena Allah. Di antara mereka ada membantu mempertamukan orang yang sedang merindukan seseorang dengan orang yang dirindukannya padahal keduanya belum terikat dengan tali pernikahan. Membantunya bertemu dengan orang yang dirindukannya akan membuatnya terbebas dari kesengsaraan menanggung rindu. Kata mereka, "Bukankah Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa meringankan seorang mukmin dari suatu kesedihan dunia, maka Allah akan meringankan orang itu dari satu beban kesedihan pada hari kiamat.'?" Astaghfirullah.

Karena bodoh
Kedua, mereka yang menganggap perbuatan haram tidak dapat menjadi ibadah dengan sendirinya. Namun, mereka beranggapan bahwa perbuatan itu dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka menduga perbuatan itu dapat menyelamatkan mereka dari perbuatan terlarang. Misalnya, mereka mencari nafkah dengan cara-cara haram seperti riba, merampok, menyuap; atau berjualan barang haram seperti babi atau minuman keras. Mereka berdalih, semua itu mereka kerjakan demi kemajuan, demi menghidupi keluarga, dan demi perjuangan di jalan Allah.
Mengenai hal ini al-Ghazali berkata, "Niat tidak akan bisa mengubah status kemaksiatan. Orang tidak bisa begitu saja berdalil dengan keumuman hadits Rasulullah saw yang berbunyi, 'Setiap perbuatan itu tergantung niatnya,' kemudian mengatakan bahwa perbuatan maksiat bisa berubah menjadi ketaatan.
Al-Ghazali menyebut orang seperti itu layaknya orang yang mengumpat seseorang demi menjaga orang lain, memberi makan orang miskin dengan harta orang lain, membangun sekolah, masjid, atau panti asuhan dengan barang haram, lalu diniatkan untuk kebaikan.
"Semua itu merupakan wujud kebodohan," kata al-Ghazali lebih jauh. "Niat tidak akan bisa melepaskan seseorang dari kezaliman, permusuhan, dan kemaksiatan. Sungguh, meniatkan kebaikan pada tindakan kejahatan adalah kejahatan yang lain. Jika seseorang sudah mengetahui hal itu tetapi masih juga melakukannya, berarti ia telah menentang syariat."

Keumuman syariat
Ketiga, orang-orang yang meyakini bahwa ada beberapa perbuatan haram yang bisa dijadikan ibadah bagi kelompok atau orang tertentu.
Al-'Izz bin 'Abdussalam menyatakan, ada sekelompok orang yang menganggap seorang wali boleh melakukan maksiat kecil dan Allah menghalalkan baginya apa-apa yang tidak dihalalkan bagi yang lain. Beliau menegaskan, "Yang lebih jahat lagi adalah orang yang yakin bahwa perbuatan dosa semacam itu adalah ibadah, karena dilakukan oleh seorang wali Allah."
Ibnul Jawzi mengutip perkataan seorang sufi, "Nyanyian itu haram bagi kalangan awam. Sebab mereka akan terus berkutat dalam hawa nafsu. Sedangkan bagi ahli zuhud, nyanyian itu mubah. Sebab ia dapat meningkatkan kesungguhan mereka. Adapun bagi kelompok kami, hukumnya sunnah karena dengan nyanyian itu hati kami menjadi hidup."
Tentu saja pendapat ini salah. Hukum haram yang ditetapkan oleh Allah bersifat umum. Meliputi semua kalangan. Mencakup semua tingkatan manusia tanpa pandang bulu. Tidak ada kelompok atau orang yang dikhususkan dari ketetapan ini, selain orang yang dikecualikan oleh Allah karena keadaan terpaksa, seperti orang yang terpaksa makan bangkai.
Harits al-Muhasibiy menyatakan bahwa ikhlas tidak berlaku untuk perbuatan haram, seperti memandang sesuatu yang haram, misalnya, lalu berdalil bahwa ia tengah merenungkan ciptaan Allah. Dalam konteks ini, ikhlas tidak berlaku dan tidak bernilai ibadah sama sekali.

BERHARAP MASLAHAT TIDAK MERUSAK KEIKHLASAN

Selasa, 23 Juni 2009 | 0 komentar


"Shalat itu melapangkan rizki, menjaga kesehatan, mengusir marahabaya, menepis penyakit, menguatkan hati, membuat wajah cemerlang, menjadikan jiwa selalu berseri-seri, menghilangkan rasa malas, mengundang semangat anggota badan, menambah kekuatan, melapangkan dada, menutrisi ruhani, membuat hati bercahaya, menjaga nikmat, mencegah musibah, mendatangkan barokah, menjauhkan diri dari setan dan mendekatkan diri kepada ar-Rahman." Demikianlah sebagian maslahat yang ada pada shalat, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jawziyah.
Bagi sebagian muslim yang dangkal ilmunya, pernyataan murid Ibnu Taimiyah di atas mengandung tanda tanya. Bagaimana jika seorang muslim mengerjakan shalat dengan tujuan memperoleh berbagai maslahat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim di atas? Apakah hal itu merusak keikhlasannya? Jika hal itu merusak keikhlasan, kenapa ulama sekaliber Ibnul Qayyim bercapek-capek memaparkan berbagai maslahat shalat? Mungkinkah secara sadar Ibnul Qayyim menyebutkan sesuatu yang tidak bermanfaat atau bahkan berpotensi mencelakakan umat?
Menurut sebagian muslim yang dangkal ilmunya, orang yang mengerjakan amal ibadah dengan tujuan memetik buahnya dan memperoleh imbalan dari Allah atau keuntungan lainnya, berarti ia telah menodai tujuan sejati ibadah, yaitu mengharapkan keridhaan Allah. Menurut mereka, selagi masih ada keinginan lain di samping ridha-Nya, seseorang masih menyekutukan Allah. Musyrik.

Boleh berharap maslahat
Pendapat seperti tersebut di atas tidaklah benar. Para ulama salaf yang mendalam ilmunya sepakat bahwa syariat datang dengan membawa maslahat bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Para ulama telah membuktikan kebenaran hal ini berdasarkan penelitian mereka terhadap al-Qur`an dan al-Hadits. Menurut mereka—bahwa syariat datang dengan membawa masalahat—selalu dapat dijumpai dalam seluruh detail syariat. Pencarian bukti-bukti seperti itu akan sangat berguna bagi pengetahuan kita, karena memang begitu banyak dalil yang membuktikan kebenaran pernyataan itu. (Al-Muwafaqat, asy-Syathibiy, 2/3-4)
Memang setiap mukallaf dilarang menjadikan amal ibadahnya sebagai alat untuk memperoleh keuntungan duniawi seperti yang dilakukan oleh orang-orang munafik. Setiap mukallaf dituntut untuk memusatkan tujuannya hanya pada kemaslahatan yang ditetapkan oleh syariat. Tetapi, ini bukan berarti kita dilarang mengharapkan kebaikan apa pun dari ibadah yang kita lakukan. Pengharapan ini sama sekali tidak bertentangan dengan konsep ikhlas, selama kita tetap berpijak di atas tuntunan dan tuntutan syariat.

Isyarat al-Qur`an dan as-Sunnah
Bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa orang yang hendak bersuci—berwudhu atau mandi wajib—tidak boleh berkeinginan untuk membersihkan atau menghilangkan bau badan di samping niat ibadah kepada Allah? Ketika cuaca panas, bagaimana mungkin kita mencegah keinginan untuk menyejukkan atau menyegarkan tubuh? Apakah karena menginginkan hal itu kemudian kita menyebut amalnya rusak atau batal?
Apakah keliru jika kita meniatkan zakat atau sedekah yang kita keluarkan dengan tujuan menutup jurang kemiskinan, bersilaturrahim, dan berbuat baik kepada sesama? Apakah tujuan-tujuan ini bertentangan dengan keikhlasan?
Apakah orang yang telah merasakan lezat dan bahagianya beribadah mampu menepis tujuan memperoleh kenikmatan itu? Sedangkan Rasulullah saw. telah menyatakan,
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
"Dijadikan penyejuk hatiku ada pada shalat." (Silsilah Ahadits Shahihah, no. 1809)
Tidak bolehkan seorang yang mengerjakan shalat berharap dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar. Jika tidak boleh, apa yang harus kita lakukan dengan firman Allah berikut ini?
"Dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (Q.S. al-'Ankabut: 45)
Kelirukah kita mengharapkan selalu mendapatkan solusi dari berbagai masalah yang kita hadapi, rizki yang tak terduga, dan dimudahkan segala urusan kita dengan bertakwa kepada Allah? Dengan senantiasa menjalankan semua perintah-Nya semampu kita dan meninggalkan semua larangan-Nya? Jika kita keliru, lantas bagaimana kita membaca ayat-ayat berikut ini?
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka." (Q.S. ath-Thalaq: 2-3)
"Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (Q.S. ath-Thalaq: 4)
Akhirnya ada satu ayat yang secara tegas menyanjung orang yang mencari dua kebaikan sekaligus, kebaikan dunia dan akhirat.
"Dan di antara mereka ada yang berdoa, 'Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.' Mereka itulah orang yang mendapatkan bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat hisab-Nya." (Q.S. al-Baqarah: 201-202)
Maka tidaklah keliru jika kita mengharapkan banyak kebaikan dari amal ibadah kita. Kebaikan yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Wallahul Muwaffiq.

LARI MENUJU ALLAH

فَفِرُّوْا إِلَى اللهِ
"Maka berlarilah menuju Allah!" (Adz-Dzariyat: 50)
Dalam bahasa Arab, kata al-firar yang berarti berlari biasanya digunakan untuk mengungkapkan lari dari sesuatu yang ditakuti. Lari karena dikejar singa, anjing gila, atau musuh misalnya. Untuk lari mengejar sesuatu digunakan kata yang lain: jara-yajri-jirayah.
Apabila seseorang berlari karena dikejar singa, dia pasti akan fokus kepada upaya penyelamatan dirinya. Dia tidak akan peduli jika—misalnya—ada duri atau paku yang menusuk kakinya. Dia tidak akan peduli juga jika—misalnya—seseorang memintanya untuk berhenti dan akan diberi setumpuk harta. Dia tetap akan berlari sekencang-kencangnya.
Dengan firman-Nya ini Allah memerintahkan kita semua supaya berlari menuju Allah. Berlari menuju kepada-Nya seperti bila kita berlari dikejar singa. Berlari kencang tanpa mempedulikan rasa sakit yang mungkin dirasa raga atau terpedaya oleh bujuk-rayu dunia.
Dalam karya monumentalnya, Madarijus Salikin, Ibnu Qayyim al-Jawziyah menerangkan, langkah awal dari berlari kepada Allah ini meliputi tiga hal. Berlari dari kejahilan menuju ilmu, berlari dari kemalasan menuju semangat, dan berlari dari sesaknya dada menuju kelapangannya.
Dari kejahilan menuju ilmu
Orang yang jahil menurut Islam bukan hanya orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang sesuatu. Orang yang pengetahuan dan cakrawala berpikirnya luas pun bisa menjadi orang yang jahil. Menurut Islam, ilmu meliputi pengetahuan tentang kebenaran dan mengamalkan kebenaran yang telah diketahui itu.
Ketika Nabi Yusuf as. dipaksa untuk berbuat nista, beliau—sebagaimana diabadikan oleh Allah dalam surat Yusuf: 33—mengadu, "Wahai Rabb-ku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Jika Engkau tidak menghindarkan aku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil."
Mengetahui bahwa perbuatan zina adalah perbuatan yang buruk tidak mengeluarkan seseorang dari kejahilan sampai dia menjauhinya. Demikian pula dengan perintah dan larangan Allah yang lain. Mengetahui bahwa shalat itu wajib tidak mengeluarkan seseorang dari kejahilan sampai dia menegakkannya.
Amru bin Hisyam yang sebelum datangnya Islam digelari dengan Abul Hakam karena kecerdasan dan ketinggian ilmunya, mendapatkan gelar Abu Jahal karena tidak mau mengikuti kebenaran. Amru bin Hisyam pasti memahami dan dapat mencerna semua yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Tetapi karena ilmunya tidak diikuti dengan pengewantahan, dia tidak dianggap sebagai orang yang berilmu. Sebaliknya, dia dinyatakan sebagai orang yang jahil.
Dari kemalasan menuju semangat
Ibnul Qayyim menyatakan bahwa sifat malas, menunda-nunda amal, berandai-andai, dan yang sejenis dengannya sangat berbahaya bagi seseorang. Kemalasan laksana pohon yang hanya membuahkan kerugian dan penyesalan.
Ada beberapa ayat al-Qur`an yang mengisyaratkan agar kita menerima semua perintah Allah dengan segenap kesungguhan, penuh semangat. Allah berfirman,
خُذُوا مَا آَتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Peganglah dengan teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa." (Al-Baqarah: 63)
وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْعِظَةً وَتَفْصِيلًا لِكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ
"Telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh itu segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu. Maka (kami berfirman), 'Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang pada (perintah-perintah-Nya) dengan sebaik-baiknya!'." (Al-A'raf: 145)
Setiap muslim mesti berlari meninggalkan rasa malasnya menuju keteguhan dan semangat yang senantiasa berapi-api dalam segala kebaikan.
Dari dada sesak menuju dada lapang
Berikutnya hendaklah setiap muslim meninggalkan dadanya yang sesak sesegera mungkin menuju dada yang lapang. Sesaknya dada seseorang biasa datang saat dia khawatir dan gundah mengenai kemaslahatan dirinya, hartanya, atau keluarganya. Dia murung dan menekuknya wajah apabila ada ancaman terhadap diri, harta, atau keluarganya.
Ancaman yang hakiki adalah ancaman yang datang dari Allah. Ancaman yang datang hanya jika seseorang melanggar aturan-aturan-Nya. Ancaman yang datang dari selain Allah hanyalah ancaman yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan ancaman-Nya.
Sebenarnya jika seseorang tsiqqah (percaya) kepada Allah, bertawakal dengan benar, dan berbaik sangka kepada-Nya setelah berusaha untuk bertakwa kepada-Nya dg segenap kemampuannya, niscaya dadanya akan lapang. Ini sudah dijanjikan Allah. Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar (dari semua persoalan) baginya dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya " (Ath-Thalaq: 2-3)
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
"Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (Ath-Thalaq: 3)
Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Allah berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي
"Aku ada pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersama-Nya jika Dia berdoa kepada-Ku."
Maka mari kita berlomba berlari menuju Allah. Wallahul muwaffiq. (azm)

TANDA IRADAH LURUS

Senin, 27 April 2009 | 0 komentar

Iradah yang lurus harus dimiliki oleh setiap orang selain tashawur yang benar, jika dia ingin senantiasa memiliki kualitas iman yang baik. Lurusnya iradah, menurut Ibnul Qayyim ditandai dengan hal-hal berikut ini:

أَنْ يَكُوْنَ هَمُّ الْمُرِيْدِ رِضَى رَبِّهِ وَاسْتِعْدَادُهُ لِلِقَائِهِ وَحُزْنُهُ عَلَى وَقْتٍ مَرَّ فِيْ غَيْرِ مَرْضَاتِهِ

"Hendaklah semangat orang yang beriradah adalah mencari ridha Rabb-nya, persiapannya adalah untuk perjumpaan dengan-Nya, dan kesedihannya adalah karena waktu yang terlewatkan bukan dalam rangka mencari ridha-Nya."

Sudah luruskah iradah kita?

Konsep 'Izzuddin bin 'Abdussalam tentang Maslahat

Rabu, 08 April 2009 | 0 komentar



'Izzuddin bin 'Abdussalam, seorang ulama bermadzhab Syafi'i yang wafat pada tahun 660 H menulis sebuah kitab yang diberi judul Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam. Kitab ini menjelaskan berbagai maslahat yang terkandung di dalam amal ibadah, muamalat, dan berbagai aktivitas seorang hamba (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 11).

Peran Akal dalam Menentukan Maslahat
Lebih lanjut 'Izzuddin menyatakan bahwa agama Islam datang untuk memosisikan dua maslahat dan menegasikan dua mafsadat. Maslahat dunia dan maslahat akhirat; dan mafsadat dunia dan mafsadat akhirat.
Maslahat dan mafsadat dunia umumnya dapat diketahui dengan akal. Sebab sebelum wahyu turun pun, masyarakat Jahiliyah –dan manusia di mana saja– sudah berlomba-lomba di dalam mencari maslahat dunia dan berlari dari mafsadatnya (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 8). Akan halnya maslahat dan mafsadat akhirat, maka hanya dapat diketahui dengan syara'. Tentu saja keterlibatan akal di dalam penyelesaian berbagai kasus hukum tetap dibutuhkan. Pun syara' memperkenankan penggunaan Qiyas yang mu'tabar dalam penetapan hukum (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 11).

Hakikat maslahat dan mafsadat
Dalam pandangan 'Izzuddin, sedikit sekali perkara yang mengandung maslahat ansich atau mafsadat ansich. Yang banyak adalah perkara yang mengandung kedua-duanya. Dasarnya adalah hadit Nabi saw yang berbunyi,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ (رواه مسلم)
Surga itu dikelilingi oleh perkara-perkara yang tidak disukai, sedangkan neraka itu dikelilingi oleh perkara-perkara yang disenangi (HR. Muslim)

Perkara-perkara yang mengantarkan ke surga adalah maslahat tetapi juga mafsadat ditinjau dari realitanya yang seringkali menyulitkan dan menyakitkan. Sedangkan perkara-perkara yang mengantarkan ke neraka adalah mafsadat tetapi juga maslahat ditinjau dari realitanya yang menyenangkan. Pada galibnya, manusia lebih mendahulukan perkara yang maslahatnya lebih kuat dan meninggalkan perkara yang mafsadatnya lebih besar. Karena itulah –karena kasih sayang Allah– disyariatkan penegakan hukum Hudud dan Ta'zir terhadap berbagai pelanggaran yang akan menjerumuskan seseorang ke jurang neraka (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 14).

Masalahat dan mafsadat dibagi menjadi wasilah dan tujuan
Perkara-perkara yang diwajibkan dan disunnahkan ada dua: yang merupakan tujuan dan yang merupakan wasilah. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang diharamkan dan dimakruhkan. Hukum wasilah sama dengan hukum tujuan; wasilah kepada tujuan yang paling utama adalah wasilah yang paling utama.
Kemudian, wasilah-wasilah itu bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan maslahat dan mafsadat. Siapa saja yang bisa mengetahui tingkatan-tingkatan maslahat dan mafsadat ini, maka dia tahu perkara-perkara yang mesti didahulukan dan diakhirkan, mana yang mesti ditanggung dan dibuang (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 39-40).

Tingkatan-tingkatan maslahat dan mafsadat
Menurut 'Izzuddin bin 'Abdussalam, secara global tingkatan maslahat ada dua. Pertama, maslahat yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya. Maslahat yang diwajibkan ini dapat diklasifikasi menjadi tiga; maslahat yang afdhal, maslahat yang fadhil, dan maslahat yang berada di antara keduanya. Maslahat yang afdhal adalah maslahat yang tertinggi, yakni maslahat yang menegasikan mafsadat yang paling besar, sekaligus mendatangkan maslahat yang paling rajih. Contoh dari maslahat yang afdhal ini adalah iman kepada Allah. Sesungguhnya Rasulullah saw. Pernah ditanya tentang amalan yang paling utama; dan beliau menjawab, "Yaitu iman kepada Allah." Beliau ditanya lagi tentang amalan yang berada di tingkat bawahnya; dan beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." (H.R. al-Bukhariy)

Kedua, maslahat yang disunnahkan oleh Allah. Yakni maslahat yang diserukan oleh Allah demi memperbaiki keadaan sekalian hamba. Yang perlu dicatat adalah bahwa kedudukan maslahat tertinggi dari maslahat yang disunnahkan ini masih di bawah kedudukan maslahat terrendah dari maslahat yang diwajibkan. Maknanya, amalan wajib tidak boleh dikalahkan –bagaimana pun– oleh amalan sunnah (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 40-41).

Mafsadat juga ada dua. Pertama, mafsadat yang diharamkan oleh Allah untuk didekati. Dan kedua, mafsadat yang dimakruhkan oleh Allah untuk didekati. Mafsadat yang diharamkan untuk didekati diklasifikasikan menjadi tiga: mafsadar kabir (besar), mafsadat akbar (lebih besar), dan mafsadat yang berada di antara keduanya. Rasulullah saw. pernah ditanya tentang dosa yang paling besar. Beliau menjawab, "Menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu." Beliau ditanya, berikutnya apa? Beliau menjawab, "Membunuh anak karena khawatir anak itu ikut makan harta." Beliau ditanya lagi, kemudian apa? Beliau menjawab, "Berzina dengan istri tetangga." (H.R. al-Bukhariy dan Muslim)

Mafsadat yang dimakruhkan pun bertingkat-tingkat, dari yang mendekati mafsadat yang diharamkan sampai yang mendekati perkara yang dibolehkan (Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 41).

Jika maslahat dan mafsadat saling menegasikan
Jika dua maslahat bertentangan dan tidak mungkin dikompromikan, maka jika diketahui mana yang lebih rajih, yang lebih rajih itulah yang dikedepankan. Jika tidak diketahui, sesungguhnya sebagian ulama akan mengetahui mana yang lebih rajih, sehingga yang lebih rajih itulah yang dikedepankan. Mungkin ulama lain memandang yang tidak dikedepankan oleh ulama yang lain sebagai maslahat yang rajih sehingga dia mengedepankannya. Kedua ulama mujtahid itu sama-sama mendapatkan maslahat atau salah satunya yang mendapatkan maslahat, sedangkan yang lain ma'fuw 'anhu (dimaafkan).

Yang demikian ini berlaku pula untuk pertentangan antara maslahat dan mafsadat.( Qawa'idul Ahkam fii Mashalihil Anam, juz 1 halaman 43-44)

Bagaimana jika seseorang melakukan suatu mafsadat, sedangkan dia mengiranya sebagai maslahat?
Menurut 'Izzuddin, jika seseorang melakukan suatu mafsadat, sedangkan dia mengiranya sebagai maslahat; misalnya seseorang mengkonsumsi makanan yang dikiranya miliknya padahal sebanarnya bukan, maka orang itu tidak berdosa. Perbuatannya itu tidak disebut sebagai perbuatan baik maupun perbuatan maksiat. Tidak pula disebut sebagai perbuatan yang mubah. Hanyasanya perbuatannya itu ma'fuw 'anhu (dimaafkan); disejajarkan dengan perbuatan anak kecil atau orang gila. Tentu saja orang itu masih berkewajiban menanggung kerusakan atau kerugian yang dilakukannya terhadap pihak lain.

Wallahu a'lam.

Belajar dari Doa Musa

Salah satu bukti pengagungan kita terhadap al-Qur`an adalah mengambil berbagai pelajaran dari kisah-kisah yang dimuat di dalamnya. Allah menyebut orang-orang yang mau mengambil pelajaran itu sebagai orang-orang yang punya mata hati, ulil abshar.

Di antara surat-surat yang ada di dalam al-Qur`an, surat al-Qashash adalah surat yang memuat fragmen kehidupan Nabi Musa secara lengkap. Sejak beliau masih bayi sampai dewasa dan berhasil mengibarkan penji-panji tauhid dengan menyeberangi laut Merah dan tenggelamnya Fir'aun di sana.

Tiga Doa
Surat al-Qashash mengabadikan tiga doa yang pernah dilantunkan oleh pemuda Musa—saat itu belum menikah dan belum diangkat sebagai Nabi. Tidak mungkin seumur hidupnya, Nabi Musa hanya memanjatkan tiga doa saja. Pasti banyak sekali doa yang pernah beliau lantunkan, apatah lagi setelah beliau diangkat sebagai Nabi. Oleh karena itulah, ketiga doa yang tercatat abadi dan telah dibaca oleh jutaan umat ini pasti memiliki nilai lebih. Ketiga doa itu adalah:

a. Doa yang dipanjatkan oleh Musa setelah beliau tanpa sengaja membunuh seorang Kopti. Doa itu berbunyi,
رَبِّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لي
"Wahai Rabb-ku! Sesungguhnya aku telah berbuat zhalim kepada diriku sendiri. Ampunilah aku." (Q.S. al-Qashash: 16)

b. Doa yang dilantunkan oleh Nabi Musa seteah beliau mendengar kabar konspirasi pembunuhan yang ditujukan kepada beliau. Doa itu berbunyi,
رَبِّ نَجِّنِي مِنَ القَوْمِ الظَّالِمِينَ
"Wahai Rabb-ku! Selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim." (Q.S. al-Qashash: 21)

c. Doa yang dibaca oleh Nabi Musa ketika beliau sedang kelelahan dan kelaparan di negeri Madyan.
رَبِّ إنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
"Wahai Rabb-ku! Sesungguhnya aku teramat butuh kepada turunnya kebaikan-Mu kepadaku." (Q.S. al-Qashash: 24)

Fiqh Doa Musa
Dalam ketiga doa di atas, Musa memulai doa-doanya dengan lafal "Rabbi" yang bermakna "Wahai Rabb-ku!". Kata ini menunjukkan bahwa meski di usia yang masih belia, keimanan Musa telah mencapai derajat yang tinggi. Nyaris sempurna. Demikian pula halnya dengan tauhidnya. Tauhid yang murni. Pun dengan pemahamannya akan segala kekuatan untuk berbuat baik dan daya tahan dari melanggar yang dilarang dan diharamkan oleh Allah. Semua itu tidak pernah terwujud tanpa bantuan Allah.

Saat memanjatkan doa, "Wahai Rabb-ku! Sesungguhnya aku telah berbuat zhalim kepada diriku sendiri. Ampunilah aku!" Musa memahami dan bermakrifah bahwa hanya Allah yang dapat mengampuni dosa yang telah diperbuatnya; Dia al-Ghafur dan al-Ghaffar.

Saat melantunkan doa, "Wahai Rabb-ku! Selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim." Musa memahami dan bermakrifah bahwa hanya Allah yang dapat menyelamatkannya dari kejaran musuh. Bersembunyi di mana pun, jika Allah tidak menyelamatkannya, dia pasti tertangkap. Dengan cara-Nya Allah akan melindungi dan menyelamatkan hamba-Nya.

Dan saat mengadu, "Wahai Rabb-ku! Sesungguhnya aku teramat butuh kepada turunnya kebaikan-Mu kepadaku." Musa tahu dan mengerti bahwa hanya Allah yang dapat memberi rizki yang baik. Musa bermakrifah bahwa Allah adalah ar-Razzaq.

Seiring dengan setiap doa yang dipanjatkannya, Musa senantiasa mengiringinya dengan pengharapan agar doa-doanya itu dikabulkan. Dan doa-doa Musa memang terkabul. Terkabulnya doa yang sejalan dengan dengan hikmah dan ilmu Allah. Dia Maha Mengetahui segala hakikat dan akhir setiap peristiwa. Allah mengabulkan permohonan seorang hamba, jika di sana ada kebaikan dunia akhirat seorang hamba. Dan begitu pula dengan doa Musa as. Allah mengabulkannya seiring dengan hikmah-Nya.

Setelah doanya yang pertama, Allah menyatakan
فَغَفَرَ لَهُ إنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Maka (Allah) mengampuninya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. al-Qashash: 16)

Setelah doanya yang kedua, Musa melangkahkan kaki untuk berusaha mencari keselamatan. Berusaha setelah berdoa. Ibnu 'Athiyah menyatakan, Musa berjalan tanpa teman tanpa arah yang pasti. Dia hanya berbekal kepercayaannya kepada Allah. Dia hanya berucap,
عَسَى رَبِّي أَن يَهْدِيَنِي سَوَاءَ السَّبِيلِ
"Semoga saja Rabb-ku membimbingku jalan yang benar." (Q.S. al-Qashash: 22)

Akhirnya sampailah Musa ke negeri Madyan. Negeri yang berada di luar wilayah kekuasaan Fir'aun. Itulah sebabnya orang tua dua gadis yang ditolongnya berkata,
لا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ القَوْمِ الظَّالِمِينَ
"Jangan khawatir, kamu sudah selamat dari kaum yang zhalim itu." (Q.S. al-Qashash: 25)

Doa keselamatan yang dipanjatkan Musa telah dikabulkan.
Doa yang ketiga pun dikabulkan oleh Allah. Allah mengabarkan,
فَجَاءَتْهُ إحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan malu-malu, ia berkata, 'Sesungguhnya ayahku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami'." (Q.S. al-Qashash: 25)

Maka Musa yang dalam keadaan letih dan lapar mendapatkan semua kebaikan rizki dari Allah. Bermula dari jamuan tamu, kemudian dinikahkan dengan perempuan yang berakal, suci, dan menjaga kehormatannya, dan akhirnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jiwanya yang merdeka, senang bertafakkur, dan memperhatikan alam raya.

ADA RIBA DI MLM

Rabu, 25 Maret 2009 | 0 komentar


Seratus perusahaan MLM seratus pula model praktiknya, sehingga hukumnya pun tidak boleh disamakan begitu saja. Masing-masing mesti dikaji kasus per-kasus. Yang pasti, hukum asal segala bentuk muamalah adalah boleh. Siapa pun yang hendak terjun ke dunia kerja—apa pun itu, termasuk MLM—berkewajiban untuk mengilmui dunia yang hendak diterjuninya sebelum dia menceburkan diri ke dalamnya, jika ingin mendapatkan keridhaan Allah dan hidupnya diberkahi. Ahlussunnah sepakat, al-'ilmu qablal qawli wal 'amal (ilmunya dulu, baru bicara atau bekerja). Biasanya, jika sudah terlanjur mencebur, seseorang akan cenderung mencari-cari pembenaran atas apa yang dilakukannya, kecuali orang-orang yang mendapatkan rahmat Allah.
Dari beberapa praktik MLM yang menjamur, saya belum mendapati MLM yang selamat dari berbagai perkara yang diharamkan di dalam muamalah.

Di antara perkara-perkara yang diharamkan dan selalu ada dalam salah satu MLM—setidaknya sampai makalah ini ditulis—adalah:

1. Keluar dari Tujuan Utama Jual Beli
Tujuan utama dari membeli suatu produk/barang adalah memiliki produk/barang tersebut karena suatu kebutuhan. Saat seseorang bergabung dalam sebuah MLM, mungkin tujuan semulanya adalah mendapatkan harga murah (diskon khusus member). Namun seiring dengan bergulirnya waktu, ia akan didorong untuk mencari member baru dan mengokohkan jaringan—baik piramida, binary, maupun yang lain—ditambah dengan membeli produk sampai batas tertentu (tutup poin) untuk mendapatkan bonus. Pay to play. Jika tidak menutup poin, maka keseluruhan atau sebagian bonus akan hilang. Membeli produk demi bonus hukumnya sama dengan hukum menerima bonus.

Para fuqaha` punya kaidah, lilwasaail hukmul maqaashid (hukum sebuah sarana sama dengan hukum tujuannya) dan al-umuuru bimaqaashidiha (hukum semua perkara tergantung kepada maksudnya). Jika hukum menerima bonus jenis ini—tidak semua jenis bonus hukumnya mubah—haram, maka hukum membeli dengan tujuan mendapatkan bonus jenis ini pun haram.

2. Bonus yang riba
Dalam fatwa no. 22935 tertanggal 14/3/1425 H. Lajnah Daimah lil Buhuts al-'Ilmiyah wal Ifta` yang diketuai oleh Syaikh `Abdul`Aziz Aalu al-Syaikh dan beranggotakan Syaikh Shalih al-Fawzan, Syaikh `Abdullah al-Ghudayan, Syaikh `Abdullah al-Mutlaq, Syaikh `Abdullah al-Rakban, dan Syaikh Ahmad al-Mubaraki menyatakan bahwa belanja yang dilakukan oleh member dengan tujuan mendapatkan bonus uang dan yang lainnya termasuk riba. Dua jenis riba, fadhal dan nasi`ah ada pada transaksi tersebut. Yang demikian itu karena umumnya member berbelanja dengan tujuan menutup poin supaya mendapatkan bonus yang jumlahnya lebih besar daripada uang yang dikeluarkannya. Mengeluarkan uang yang sedikit untuk mendapatkan uang yang lebih banyak adalah riba fadhal. Mengeluarkan uang sekarang untuk mendapatkan uang di kemudian hari adalah riba nasi`ah.

3. Bonus yang gharar
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. yang berisi larangan jual beli gharar (mengandung ketidakjelasan/spekulasi). Dalam praktiknya, bonus yang dijanjikan kepada member dengan syarat tutup poin belumlah pasti alias spekulatif atau mengandung gharar. Besarnya bonus yang akan diterima oleh member dikaitkan dengan besarnya belanja downline-downline yang ada di bawahnya. Padahal besarnya belanja para downline tidaklah pasti. Bahkan belanja-tidaknya mereka pun tidak pasti. Mau menutup poin, jangan-jangan para downline tidak belanja banyak. Tidak menutup poin, jangan-jangan para downline belanja banyak.

4. Dua macam transaksi dalam satu transaksi
Ketika seseorang mendaftar menjadi member sebuah MLM dengan membayar sejumlah uang, dia mendapatkan produk/barang atau tidak mendapatkannya. Baik mendapatkan maupun tidak, dua-duanya mempraktikkan dua transaksi dalam satu transaksi. Bagi yang mendapatkan barang, mungkin barang yang didapatnya itu diperoleh atas pembayaran yang dilakukannya. Itu satu transaksi. Transaksi kedua yang dilakukannya adalah dia mendaftar untuk menjadi pencari member. Bagi yang tidak mendapatkan barang, selain dia mendaftar untuk menjadi pencari member, dia telah bertransaksi riba: membayar sejumlah uang untuk mendapatkan uang (bonus) yang lebih besar. Mengenai dua macam transaksi dalam satu transaksi—bahkan jika keduanya sama-sama boleh—dilarang oleh Rasulullah saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bazzar, dan al-Haytsamiy.

5. Akad di atas akad
Setelah bersepakat mengenai adanya dua transaksi dalam satu transaksi, para ahli fiqh kontemporer berbeda pendapat: termasuk jenis akad apakah pencarian downline oleh member. Sebagian berpendapat, itu termasuk akad wakalah bil ujr. Dalam hal ini member menjadi agen MLM untuk menjual barang dan mencari member sehingga dia mendapatkan bonus. Sebagian berpendapat, itu termasuk akad samsarah; hal mana member menjadi broker atau makelar yang menghubungkan antara perusahaan MLM dengan member baru. Sebagian yang lain berpendapat, pencarian downline ini termasuk akad ju'alah; hal mana member mendapatkan bonus (yang masih belum jelas) apabila berhasil merekrut downline. Sampai di situ tidak bermasalah. Masalahnya adalah bonus yang didapat oleh member bukan merupakan cerminan member terikat dengan salah satu dari akad yang diperdebatkan itu. Nyatanya, member terikat dengan salah satu dari akad itu secara bertingkat. Wakalah bil ujr 'ala wakalah bil ujr 'ala wakalah bil ujr dan seterusnya, atau samsarah 'ala samsarah 'ala samsarah dan seterusnya, atau ju'alah 'ala ju'alah 'ala ju'alah dan seterusnya. Bonus yang diterima oleh member adalah persentase yang dikaitkan dengan belanja para downline yang berada tepat di bawahnya, ditambah dengan persentase yang dikaitkan dengan belanja para downlie di bawah para downline yang berada tepat di bawahnya dan seterusnya. Bonus dari downlinenya downline dan seterusnya inilah yang dipertanyakan. Dalam konsep Islam, pindahnya kepemilikan harus jelas transaksi yang mendasarinya. Jika tidak, ini termasuk mengambil harta orang lain (dalam hal ini perusahaan) secara batil. Batil dalam pengertian tidak berdasarkan aturan Islam.

6. Kebohongan Terselubung
Seringkali perusahaan MLM mengklaim, harga produk mereka lebih murah daripada harga produk sejenis yang dipasarkan secara konvensional karena dengan MLM mereka dapat memangkas bea iklan dan distribusi. Mereka sering mengatakan MLM tidak perlu beriklan. Juga, selisih antara biaya produksi dan harga jual produk non-MLM jauh lebih tinggi daripada selisih antara biaya produksi dan harga jual produk MLM. Nyatanya, beberapa MLM beriklan di media massa. Selain itu, jika dinalar dan dihitung secara cermat, selisih antara biaya produksi dan harga jual produk MLM harus tinggi. Jika tidak, perusahaan tidak akan dapat memberikan bonus jutaan rupiah, mobil mewah, rumah elit, kapal pesiar, dan lain-lain kepada member. Saya pernah menghitung. Ternyata selisih antara biaya produksi dan harga jual (harus) lebih dari 100 persen. Produk yang memakan biaya produksi Rp. 25.000,- harus dijual dengan harga di atas Rp. 50.000,- Jika tidak, bonus-bonus yang dijanjikan hanya akan menjadi isapan jempol belaka. Masih banyak lagi kebohongan-kebohongan terselubung yang seringkali dilakukan oleh member ketika memprospek calon member. Misalnya, bonus besar dengan modal kecil, mereka yang gagal adalah yang tidak bekerja keras, dan lain sebagainya.

7. Sejarah MLM
Adalah Charles K. Ponzi yang lahir di Itali pada tahun 1882. Dia bermigrasi ke Canada pada tahun 1903. Dia ditangkap karena melakukan pemalsuan dan dipenjara di sana. Sepuluh hari lepas dari penjara, kembali dia ditangkap karena melakukan penyelundupan orang ke Amerika dan kemudian ditahan penjara Atlanta. Pada tahun 1920 Ponzi dan perusahaan jasanya “Kupon Pos” di Boston menjadi perbincangan di Pantai Timur Amerika karena berhasil meraup 9,5 juta dollar dari 10.000 investor dalam waktu singkat. Ponzi menjual surat perjanjian yang berbunyi, “Dapatkan 55 sen untuk setiap sen, hanya dalam waktu 45 hari.” Ponzi kemudian disidangkan dengan tuduhan melakukan penipuan finansial dengan metode “Buble burst” (secara harfiyah berarti ledakan gelembung), dan kemudian dikenal dengan “Skema Ponzi” atau "Skema Piramida" yang menjadi cikal bakal sistem MLM.

Wallahu a'lam.

YANG DIHARAMKAN DALAM MUAMALAH


Dalam Majmu' Fatawa 28/385, Ibnu Tamiyah mengisyaratkan bahwa pengharaman semua muamalah di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah lantaran di dalam muamalah itu ada kezhaliman, riba, perjudian, dan ketidakjelasan (gharar).

Secara lebih terperinci Dr. Rafiq Yunus al-Mishriy menginventarisir perkara-perkara yang diharamkan dalam muamalah Islam, di antaranya:

1. Riba.
Riba adalah tambahan yang diberikan karena pertambahan waktu.
Misalnya, seseorang meminjam uang senilai 100 gram emas selama satu tahun; disepakati dia harus mengembalikannya pada waktunya dengan uang senilai 110 gram emas. Ini jenis riba yang hari ini banyak dipraktikkan oleh perbankan konvensional-kapitalis.

2. Perjudian. Perjudian adalah upaya saling merugikan, hal mana pihak-pihak yang terlibat tidak mengetahui siapa yang akan mendapatkan harta mereka. Di dalam perjudian ada berbagai mudharat, yaitu: membiasakan orang untuk malas, membuat kecanduan, mendorong bobroknya
rumah tangga, dan sejatinya perjudian bukanlah aktivitas ekonomi.

3. Gharar/jahalah. Gharar (spekulasi) didefinisikan oleh para fuqaha kemungkinan, keraguan, ketidakjelasan, dan ketidakpastian; apakah akan mendapatkan suatu hasil ataukah tidak. Para fuqaha memerinci gharar menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Gharar fil wujud, yakni spekulasi keberadaan, seperti menjual sesuatu anak kambing, padahal induk kambing belum lagi bunting.
b. Gharar fil hushul, yakni spekulasi hasil, seperti menjual sesuatu yang sedang dalam perjalanan, belum sampai ke tangan penjual.
c. Gharar fil miqdar, yakni spekulasi kadar, seperti menjual ikan yang terjaring dengan sekali jaring sebelum dilakukannya penjaringan.
d. Gharar fil jinsi, yakni spekulasi jenis, seperti menjual barang yang tidak jelas jenisnya.
e. Gharar fish shifah, spekulasi sifat, seperti menjual barang yang spesifikasinya tidak jelas.
f. Gharar fiz zaman, spekulasi waktu, seperti menjual barang yang masa penyerahannya tidak jelas.
g. Gharar fil makan, spekulasi tempat, seperti menjual barang yang tempat penyerahannya tidak jelas.
h. Gharar fit ta'yin, spekulasi penentuan barang, seperti menjual salah satu baju dari dua baju, tanpa dijelaskan mana yang hendak dijual.

Terkait dengan gharar ini, para fuqaha menyatakan, gharar yang diharamkan adalah gharar yang terang dan banyak—seperti menjual ikan di dalam kolam, sedangkan gharar yang sedikit—seperti menjual jeruk tanpa dikupas terlebih dahulu—dimaafkan.
Perlu dicatat bahwa mudharat gharar berada di bawah mudharat riba, spt dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa 29/25.

4. Ihtikar. Yakni membeli barang dengan tujuan menimbunnya untuk dijual ketika harganya tinggi. Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa yang menimbun, dia telah berbuat salah." (HR. Muslim, 11/43)

5. Ghubn.
Yakni menaikkan harga barang melebihi harga umum (mark up). Ghubn ada dua: ghubn fahisy (jelas/besar) dan ghubn yasir (kecil).

Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai kadar maksimal ghubn yasir, naum mereka sepakat bahwa mark up lebih dari 33% termasuk ghubn fahisy. Ghubn fahisy hukumnya haram bagi penjual, karena adanya unsur penipuan, sedangkan bagi pembeli, menurut sebagian fuqaha dia tidak berhak mengembalikan barang yang telah dibelinya, lantaran dia tidak menanyakan terlebih dahulu kepada orang-orang yang lebih tahu/berpengalaman. Sedangkan menurut sebagian yang lain, dia berhak mengembalikan barang yang telah dibelinya.

6. Najasy. Yakni menaikkan harga barang supaya calon pembeli tertarik lantaran menduga barang yang mahal adalah barang yang baik/berkualitas. Najasy haram, tetapi jual belinya tetap sah, menurut para fuqaha. Pelaku najasy berdosa, sedangkan pembeli keliru karena tidak berhati-hati dan bertanya kepada berbagai pihak yang mengetahui harga dan kualitas barang.

7. Israf. Israf yakni melampaui batas/ berlebih-lebihan di dalam membelanjakan harta melebihi batas kebutuhan. Setiap muslim diperintahkan untuk menjauhi sikap israf dan membuang-buang harta.
Allah berfirman, "Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan!"

8. Zhulm. Zhulm atau berbuat zhalim dilarang Islam dalam seluruh aspek kehidupan; termasuk dalam muamalah. Selain ayat-ayat yang telah disebutkan di depan, Rasulullah saw. bersabda, "Tidak boleh mendatangkan mudharat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain."
(HR. Ibnu Majah).

9. Ghashab. Ghashab adalah mengambil hak orang lain secara terang-terangan, berbeda dengan pencurian yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hukum ghashab haram, meskipun harta yang diambil tidak mencapai nishab pencurian.

Wallahu a'lam.

PRINSIP-PRINSIP MUAMALAH


Prinsip-prinsip Muamalah berbeda dengan prinsip-prinsip akidah ataupun ibadah. Dr. Muhammad 'Utsman Syabir dalam al-Mu'amalah al-Maliyah al-Mu'ashirah fil Fiqhil Islamiy menyebutkan prinsip-prinsip itu, yaitu:

1. Fiqh mu'amalat dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung oleh beberapa nash berikut:

a. Firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil; kecuali dengan cara perdagangan atas dasar kerelaan di antara kalian." (QS. An-Nisa`: 29)

"Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil dan janganlah kalian menyuap dengan harta itu, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)

b. Firman Allah,
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275)

c. Ibnu 'Umar ra menyatakan bahwa Rasulullah saw. melarang jual beli gharar (mengandung ketidakjelasan). (HR. Muslim, 10/157 dan al-Baihaqiy di dalam as-Sunanul Kubra, 5/338)

2. Pada asalnya, hukum segala jenis muamalah adalah boleh. Tidak ada satu model/jenis muamalah pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya nash shahih yang melarangnya, atau model/jenis muamalah itu bertentangan dengan prinsip muamalah Islam. Dasarnya adalah firman Allah,
"Katakanlah, 'Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.' Katakanlah, 'Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini), ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah.'." (QS. Yunus: 59)

3. Fiqh mu'amalah mengompromikan karakter tsabat dan murunah. Tsubut artinya tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah. Maknanya, prinsip-prinsip Islam baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah, bersifat tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah sampai kapan pun.
Namun demikian, dalam tataran praktis, Islam—khususnya dalam muamalah—bersifat murunah. Murunah artinya lentur, menerima perubahan dan adaptasi sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tsubut.

4. Fiqh muamalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan 'illah (alasan disyariatkannya suatu hukum). Tujuan dari disyariatkannya muamalah adalah menjaga dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Prinsip-prinsip muamalah kembali kepada hifzhulmaal (penjagaan terhadap harta), dan itu salah satu dharuriyatul khamsah (dharurat yang lima). Sedangkan berbagai akad—seperti jual beli, sewa menyewa, dlsb.—disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menyingkirkan kesulitan dari mereka.

Bertolak dari sini, banyak hukum muamalah yang berjalan seiring dengan maslahat yang dikehendaki Syari' ada padanya. Maknanya, jika maslahatnya berubah, atau maslahatnya hilang, maka hukum muamalah itu pun berubah. Al-'Izz bin 'Abdussalam menyatakan, "Setiap aktivitas
yang tujuan disyariatkannya tidak terwujud, aktivitas itu hukumnya batal."

Dengan bahasa yang berbeda, asy-Syathibiy sependapat dengan al-'Izz..
Asy-Syathibiy berkata, "Memperhatikan hasil akhir dari berbagai perbuatan adalah sesuatu yang mu'tabar (diakui) menurut syariat."

Wallahu a'lam
.


 
Copyright © -2012 imtihan syafii All Rights Reserved | Template Design by Favorite Blogger Templates | Blogger Tips and Tricks