TIGA BAYAN AL-QURAN (Bagian 3)

Rabu, 22 Maret 2017 | 0 komentar



Penjelasan Global
Makna global di sini adalah belum jelas pelaksanaannya. Penjelasannya diwahyukan oleh Allah langsung kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم.  Hadits-hadits Nabi yang menjelaskan perkara global dalam al-Quran juga wahyu. Allah berfirman,

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dia tidak mengucapkan dari hawa nafsunya. Hanya saja itu adalah wahyu yang diwahyukan kepada-Nya.” (QS. An-Najm: 3-4)

Kita pasti sudah mendapati banyak ayat al-Quran yang memerintahkan pelaksanaan suatu hukum—ibadah maupun muamalah—secara global dimana perincian tata laksananya ada di dalam hadits-hadits Nabi. Misalnya perintah tentang shalat, shiyam Ramadhan, menunaikan zakat, menunaikan haji, menikah, melakukan transaksi jual beli, dan lain sebagainya. Semua yang tersebut itu dijelaskan secara global di dalam al-Quran, sedangkan perinciannya ada dalam as-Sunnah.

Penjelasan Rinci
Ada pula ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan suatu perkara sampai rinci. Misalnya tata cara wudhu, tentang perempuan yang haram dinikahi, dan lain sebagainya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak mengerjakan shalat, basuhlah wajah kalian dan kedua tangan kalian sampai siku-siku, usaplah kepala kalian, dan (basuhlah) kaki kalian sampai dua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nisa`: 23)

Demikianlah, apa pun peristiwa dan fenomena yang kita hadapi, semua sudah dijelaskan oleh al-Quran. Ada yang tercakup dalam keumuman penjelasan umum, ada yang dijelaskan secara global, dan ada pula yang dijelaskan secara rinci. [Imtihan Syafi’i/ Magetan, 19 J. Tsaniyah 1438]

TIGA BAYAN AL-QURAN (Bagian 2)

Rabu, 15 Maret 2017 | 0 komentar


6. Wajib tolong menolong dalam kebaikan.
Allah berfirman,
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Hendaklah kalian saling tolong-mrnolong dalam kebaikan dan takwa; dan janganlah saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2)

7. Wajib memenuhi kesepakatan dan janji
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (yang kalian bikin)!” (QS. Al-Maidah: 1)

8. Kesulitan yang melebihi batas wajar ditiadakan oleh syariat
Allah berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan Allah tidak menjadikan kesulitan dalam diin (Islam) atas kalian.” (QS. Al-Hajj: 78)

9. Kondisi darurat membolehkan yang terlarang.
Allah berfirman,
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ
“Maka barangsiapa dalam kondisi darurat, bukan karena menginginkannya dan tidak melampaui batas, naka tidak ada dosa atasnya.” (QS. Al-Baqarah: 173)

10. Wajib bertanya kepada ahlinya jika tidak tahu tentang sesuatu.
Allah berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya`: 7)

Jika kita baca penjelasan para ulama tentang berbagai hukum, banyak sekali hukum yang salah satu dasar pijakannya adalah salah satu dari kesepuluh perkara yang dijelaskan dalam beberapa ayat al-Quran di atas; baik perkara ibadah maupun muamalah. [Bersambung, dengan izin Allah]

Kupas Tuntas UDHIYAH (Qurban)

Jumat, 10 Maret 2017


TIGA BAYAN AL-QURAN (Bagian 1)



Al-Quran adalah penjelas bagi segala sesuatu. Tidak ada perkara yang tidak dijelaskan di dalam al-Quran. Allah berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelas untuk segala sesuatu.” (QS. An-Nahl: 38)

Yang perlu kita perhatikan, al-Quran punya cara tersendiri dalam menjelaskan berbagai perkara yang dikandungnya. Penjelasan atau bayan atau tibyan untuk suatu perkara oleh al-Quran ada yang bersifat umum (‘am), ada yang bersifat global (mujmal), dan ada yang bersifat rinci (mufashal).

Penjelasan yang bersifat umum artinya al-Quran tidak menyebut hukum sesuatu secara spesifik melainkan secara umum sehingga banyak hal yang masuk ke dalam keumumannya.

Penjelasan yang bersifat global artinya al-Quran menyebut hukum sesuatu secara spesifik, hanya saja tata laksana detailnya tidak dijelaskan di dalamnya. Detailnya dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits-hadits beliau.

Penjelasan yang bersifat rinci artinya al-Quran menjelaskan hukum suatu perkara secara spesifik dan juga sudah menjelaskan tata laksananya.

Penjelasan Umum
Ada banyak ayat yang menjelaskan beberapa perkara yang bersifat umum sehingga banyak sekali perkara terjelaskan, masuk ke dalam keumumannya. Di antaranya:
1.  Kewajiban adil.
Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
  Sesungguhnya Allah memerintahkan perbuatan adil dan perbuatan baik.” (QS. An-Nahl: 90)
  Betapa banyak perkara yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku muslim dimana dia harus berlaku adil. Adil kepada Allah, kepada dirinya sendiri, kepada keluarganya, dan kepada orang lain.

2.  Kewajiban musyawarah
Allah berfirman,
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Dan urusan di antara mereka diselesaikan dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Urusan yang dihadapi oleh kaum muslimin pun banyak yang dapat diselesaikan dengan musyawarah. Mulai urusan rumah tangga, urusan pekerjaan, sampai urusan kenegaraan.

3.  Bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya
وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Setiap jiwa yang melakukan sesuatu harus mempertanggungjawabkannya. Setiap yang melakukan kesalahan tidak akan mempertanggungjawabkan kesalahan orang lain.” (QS. Al-An’am: 164)

4.  Bahwa sanksi itu sekadar dengan kesalahan
Allah berfirman,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
“Balasan keburukan adalah keburukan yang semisal dengannya.” (QS. Asy-Syura: 40)

5.  Haram mengambil harta orang lain tanpa serela hatinya
Allah berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah kalian saling makan harta orang lain dengan cara yang batil (tidak dibenarkan syariat).” (QS. Al-Baqarah: 188)
[Bersambung dengan izin Allah]

ISLAM ALA RASUL DAN SAHABAT

Selasa, 07 Maret 2017 | 0 komentar



Dalam kurun waktu lebih dari 22 tahun Rasulullah صلى الله عليه وسلم  menerima wahyu dari Allah yang berupa al-Quran. Beliau diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikannya kepada sesiapa yang mau menerimanya. Ada kabar tentang Allah, tentang malaikat, tentang jin, tentang kehidupan umat terdahulu—baik yang beriman maupun yang kafir, tentang hari Kiamat, tentang Jannah (surga), tentang Naar (neraka), dan lain sebagainya. Ada pula yang berupa perintah dan larangan.

Menjelaskan berbagai kabar dan memberikan contoh praktik pelaksanakan perintah-Nya yang termuat di dalam al-Quran adalah salah satu tugas Rasulullah. Oleh karena itulah, semua kabar tambahan dari beliau, perintah, dan larangan—yang secara periwayatan disepakati shahih—diakui oleh oleh seluruh ulama Islam. Mereka menyimpulkannya dari banyak dalil. Di antaranya:

إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ

“Tugasmu tak lain adalah menyampaikan.” (QS. Asy-Syura: 48)

وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَاحْذَرُواْ فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُواْ أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاَغُ الْمُبِينُ

“Taatlah kalian kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan waspadalah! Maka jika kalian berpaling, ketahuilah bahwa tugas Rasul Kami hanyalah menyampaikan dengan jelas.” (QS. Al-Maidah: 92)

 وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Apapun yang dibawa/diputuskan oleh Rasul maka ambillah! Dan apa-apa yang kalian dilarangnya maka tinggalkanlah!” (QS. Al-Hasyr: 7)

Tidak hanya penjelasan dan praktik pelaksanaan, Rasulullah pun telah mengajarkan kepada para sahabat cara menghadapi berbagai persoalan yang akan muncul sepeninggal beliau. Sebagian cara itu secara eksplisit maupun implisit telah dijelaskan oleh Allah dalam al-Quran. Interaksi Rasulullah terhadap al-Quran diperhatikan oleh para sahabat, dan mereka pun mencontoh beliau.


Jalan Para Sahabat

Cara para sahabat dalam memandang, menyimpulkan, dan menghadapi berbagai persoalan sepeninggal Rasulullah ini termasuk dalam ruang lingkup “sabil” yang berarti jalan; yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya,

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah petunjuk itu jelas baginya dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, akan Kami leluasakan ia dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahanam. Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa`: 115)

Ayat di atas memberitahukan, yang haram bukan hanya menyelisihi Rasulullah. Meninggalkan jalan orang-orang yang beriman pun haram. Ancamannya, dileluasakan dalam kesesatan dan dimasukkan dalam Jahannam!

Bukankah dalam ayat disebut, yang haram adalah mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman. Kenapa ditafsirkan dengan para sahabat?

Tidak ada yang memungkiri bahwa para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman. Maka para tabi’in shalih yang datang sesudah mereka dan memahami ayat ini, tidak akan meninggalkan cara para sahabat dalam berislam. Dan begitu selanjutnya untuk generasi-generasi shalih berikutnya: tidak ada yang berani menyelisihi jalan orang-orang yang beriman sebelumnya.

Tak Cukup Hanya Klaim

Hari ini kita dapat saksikan banyaknya tokoh yang mengklaim diri sebagai orang yang paling mengikuti cara berislamnya Rasulullah dan para sahabat. Masalahnya, komitmen kepada cara Rasulullah dan para sahabat dalam berislam ini tidak cukup dibuktikan dengan klaim atau pengakuan. Ada pepatah Arab yang artinya:
“Banyak orang mengaku mencintai Laila
Tetapi Laila tak mengenal satupun darinya.”

Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti cara berislam Rasulullah dan para sahabat ini. Ini bukan milik golongan atau kelompok pengajian tertentu. Siapa yang mau mengkajinya dengan sungguh-sungguh, semua tersimpan rapi dalam kitab-kitab yang memenuhi perpustakaan di berbagai belahan bumi.

Dan sebagaimana semua memiliki potensi untuk berkomitmen, semua pun berpotensi untuk meninggalkannya. Orang yang di pagi hari benar-benar berada dalam cara berislam yang benar ini, sore harinya bisa saja telah meninggalkannya—sengaja atau tidak. [Imtihan Syafi'i/Solo, 8 J. Tsaniyah 1438 H]

Sudah Halalkah Harta Kita?

Minggu, 15 Mei 2016


Interrelasi Muraqabah dan Dzikrullah

Rabu, 14 Juli 2010


Malaikat Jibril pernah menjelma sebagai seorang Arab yang menemui Nabi saw. saat beliau berada di tengah-tengah sahabat. Kata Nabi—di akhir fragmen kedatangan Jibril, setelah dia menghilang—ia dating untuk mengajarkan unsure-unsur agama Islam kepada para sahabat. Di antara yg diajarkannya itu adalah ihsan. Ditanya apa itu ihsan, Nabi saw menjawab, "Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, (yakinlah) sesungguhnya Dia melihatmu."
Ihsan inilah yang disebut oleh para ulama sebagai hakikat muraqabatullah, muraqabah kepada Allah.

Dzikir berbuah Muraqabah
Para ulama menyatakan, apabila seseorang selalu bermuraqabah kepada Allah, maka ia akan menjadi sosok yang memiliki rasa takut kepada ancaman Allah (khauf), takut jika tidak mendapatkan karunia-Nya (khasyyah), mengagungkan-Nya, beriman secara mutlak kepada ilmu dan kekuasaan-Nya, mencintai-Nya dan mengharap-Nya.

Siapa saja yang menjaga rukun-rukun ini tidak mungkin akan melewatkan sesaat saja tanpa muraqabah kepada Allah dan ibadah kepada-Nya. Dan di antara perkara-perkara yang dapat memudahkan seorang muslim untuk itu adalah memperbanyak dzikir kepada Allah, memuji-Nya, dan mengagungkan-Nya. Itulah sebabnya ada banyak ayat dan hadits yang memerintahkan berdzikir kepada Allah. Allah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman! Banyak-banyaklah berdzikir kepada Allah!" (QS. al-Ahzab: 41)
"Dan dzikir kepada Allah, itulah yang lebih besar." (QS. al-'Ankabut: 45)
"Dan ingatlah Rabb-mu, jika kamu lupa." (QS. al-Kahf: 24)
"Ketahuilah, dengan dzikir kepada Allah hati menjadi tenang." (QS. ar-Ra'ad: 28)
Adalah Rasulullah saw menyifati adzan sebagai "da'wah tammah", seruan yang sempurna. Dan adalah lisan beliau tidak pernah lengang dari dzikir kepada Allah. Dan untuk itulah beliau bersabda, "Hendaklah lisanmu selalu basah dengan dzikir kepada Allah." (HR. at-Tirmidziy dan Ibnu Majah, dikategorikan shahih oleh Syekh al-Albaniy)

Membaca al-Qur`an adalah dzikir yang paling utama. Karena itu hendaknya setiap muslim memiliki wirid harian dari Kitabullah. Dan hendaklah dia berhati-hati dari menjadi orang yang menjauhi al-Qur`an. Yaitu orang yang disebut oleh Rasulullah saw. dan diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya,
"Wahai Rabb-ku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur`an sesuatu yang dijauhi" (QS. al-Furqan: 30)
Bentuk menjauhi al-Qur`an adalah dengan tidak mengimplementasikannya, juga dengan tidak membacanya.
Dan hendaklah setiap muslim mentadabburi al-Qur`an dan mentafakkurinya, supaya al-Qur`an menjiwai ilmu dan amalnya. Allah berfirman,
"Maka apakah mereka tidak mentadabburi al-Qur`an ataukah hati mereka telah terkunci?" (QS. Muhammad: 24)
Di antara yang mesti diperhatikan oleh sebagian juru dakwah dan penuntut ilmu di zaman ini, menyepelekan hal ini dan melalaikannya. Sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak menyempurnakan dzikir seusai melaksanakan shalat Fardhu dan tidak membaca dzikir pagi dan petang, dengan alasan disibukkan oleh dakwah dan menuntut ilmu. Sungguh, ini adalah bisikan setan. Adalah para salaf berdisiplin di dalam berdzikir kepada Allah. Allah telah menyifati mereka dengan firman-Nya,
"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring…" (QS. Ali 'Imran: 191)
Dan marilah kita memperhatikan ayat berikut ini:
"Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan ingat kepada kalian." (QS. al-Baqarah: 152)
Apakah ada seseorang yang senantiasa berdzikir kepada Allah itu menjadi lemah atau terhina?!

Faidah Dzikrullah
Ibnul Qayyim menulis, "Sesungguhnya dzikir memberikan energi bagi orang yang melakukannya. Bisa saja saat berdzikir seseorang melakukan sesuatu. Sesuatu yang tidak mampu dilakukannya saat tidak berdzikir! Sungguh, saya telah menyaksikan kekuatan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam berjalan, berbicara, bersikap berani, dan menulis. Kekuatan yang menakjubkan. Dalam satu hari beliau mampu menulis sebanyak yang ditulis oleh seseorang selama satu pekan. Para tentara pun telah menyaksikan kekuatan beliau di medan peperangan. Kekuatan yang mendecakkan." (al-Wabilush Shayyib, hal. 155)

Masih tentang faidah dzikir, Ibnul Qayyim menulis, "Ia adalah nutrisi bagi hati dan ruh. Jika seorang hamba kehilangan dia, jadilah dia laksana tubuh yang dihalangi dari makanannya. Suatu saat saya mendapati Syaikhul Islam selepas shalat Shubuh. Beliau berdzikir kepada Allah sampai menjelang tengah hari. Kemudian beliau berpaling kepadaku seraya berkata, "Inilah sarapanku. Jika aku tidak mengkonsumsinya, energiku akan sirna." (al-Wabilush Shayyib, hal. 85)
Imam al-Bukhariy dan Muslim meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ariy ra bahwa Nabi saw bersabda, "Wahai 'Abdullah bin Qais!" "Saya penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah!" jawabku. "Maukah kamu kuberitahu suatu kalimat yang termasuk perbendaharaan surga?" tanya beliau. "Tentu saja, wahai Rasulullah," jawabku. "Yaitu, Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah (Tiada daya yang dapat menghalangi kemaksiatan dan tiada kekuatan untuk melaksanakan ketaatan melainkan dengan Allah)," sabda beliau. (HR. al-Bukhariy dan Muslim)
Menurut versi lain, beliau saw bersabda, "Wahai 'Abdullah bin Qais! Ucapkanlah, 'Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah (Tiada daya dan tiada kekuatan melainkan dengan Allah)'! Sesungguhnya kalimat itu adalah satu perbendaharaan dari perbendaharaan-perbendaharaan surga." (HR. Muslim)

Ibnul Qayyim menulis, "Kalimat ini memiliki pengaruh yang mengagumkan untuk menghadapi berbagai kesulitan, menanggung beban berat, menghadapi penguasa, dan bagi siapa saja yang takut menghadapi suasana yang mencekam." (al-Wabilush Shayyib, hal. 157)
Wallahu a’lam.

NALAR & WAHYU

Selasa, 25 Mei 2010


Akal yang mampu menalar dengan baik dan tepat adalah anugerah Allah yang tak ternilai harganya. Akal yang tajam dapat mengantarkan seseorang ke derajat yang sangat tinggi: menjadi seorang alim mujtahid yang memberikan pencerahan kepada orang-orang yang datang dan menanyakan berbagai persoalan kepadanya. Jika seorang alim mujtahid menalar perkara yang disodorkan kepadanya, keliru pun tak masalah baginya. Dia tetap mendapatkan satu pahala. Jika benar, dua pahala didapatnya. Ini jika seseorang memosisikan nalar akalnya sebagaimana mestinya: di bawah wahyu.

Apabila seseorang membalik posisi nalar akalnya, mendahulukannya di atas wahyu dan memilih mengikuti hawa nafsunya, sungguh itu adalah pangkal kesesatannya. Sufyan bin ‘Uyainah pernah ditanya, “Kenapa orang-orang yang menuruti hawa nafsunya itu amat mencintai hawa nafsunya?” Sufyan menjawab, “Apakah kamu lupa dengan firman Allah: ‘Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya.’ (Al-Baqarah: 93).”
Allah berfirman, “Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun.” (Al-Qashash: 50)
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (An-Najm: 23)

Ketenteraman Palsu
Oleh karena itulah mereka cenderung untuk mendengar syair-syair dan suara-suara yang membangkitkan cinta yang umum, bukan cinta orang-orang yang beriman. Cinta yang sama-sama dimiliki oleh mereka yang mencintai ar-Rahman, mereka yang mencintai berhala, mereka yang mencintai salib, mereka yang mencintai negara, mereka yang mencintai saudara, mereka yang mencintai sesama jenis, dan mereka yang mencintai perempuan. Mereka semua adalah orang-orang yang mengikuti dzauq dan wajad tanpa memperhatikan al-Kitab, as-Sunnah, dan jalan para Salaf.
Orang yang menyelisihi tata cara ibadah kepada Allah serta tata cara taat kepada-Nya dan kepada utusan-Nya yang diajarkan oleh Rasulullah saw sejatinya tidaklah mengikuti agama yang disyariatkan oleh Allah. Allah berfirman,
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menghindarkanmu kamu sedikit pun dari siksaan Allah. Dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (Al-Jatsiyah: 18-19)

Dalam pada itu mereka mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah. Allah berfirman,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)

Berusaha lalu tawakal
Ada juga orang-orang yang berpegang kepada agama: melaksanakan ibadah fardhu dan menjauhi perkara-perkara yang diharamkan. Hanya saja mereka keliru: mereka tidak mau melakukan usaha untuk mendapatkan sesuatu yang sebenarnya adalah ibadah. Mereka menyangka, orang yang imannya tinggi adalah orang yang total pasrah kepada Allah dan tidak peduli lagi dengan berbagai usaha. Mereka beranggapan tawakal dan doa adalah derajat orang-orang awam, bukan orang-orang khusus. Sebab, masih menurut mereka, orang yang imannya kuat mengerti bahwa apa yang ditakdirkan oleh Allah pasti terjadi. Karena itu tidak perlu ada usaha. Ini adalah kesalahan besar. Sesungguhnya Allah menakdirkan berbagai perkara berikut usaha/sebabnya sebagaimana Dia menakdirkan kebahagiaan dan kesengsaraan berikut usaha/sebabnya.

Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menciptakan penghuni surga, Dia menciptakan surga untuk mereka ketika mereka masih berada di tulang sulbi nenek-moyang mereka. Mereka akan beramal dengan amalan penghuni surga.”
Ketika Rasulullah saw memberitahu para sahabat bahwa Allah telah menulis semua takdir mereka berkata, “Wahai Rasulullah! Kenapa kita tidak meninggalkan amal dan pasrah kepada tulisan itu?” Beliau bersabda, “Tidak begitu. Beramallah! Semua orang dimudahkan untuk mengerjakan amalan (baik untuk menjadi penghuni surga maupun neraka).”
Orang-orang yang kelak menjadi penghuni surga dimudahkan untuk mengerjakan amalan penghuni surga. Orang-orang yang kelak menjadi penghuni neraka dimudahkan untuk mengerjakan amalan penghuni neraka.

Semua perintah Allah kepada hamba-Nya untuk berusaha adalah ibadah. Tawakal diperintahkan seiring dengan perintah untuk beribadah. Allah berfirman,
“Beribadahlah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya.” (Hud: 123)
“Dia-lah Rabb-ku tidak ada sesembahan (yang hak) selain Dia; hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku bertaubat.” (Ar-Ra’ad: 30)
“(Syu’aib berkata), ‘Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan kembali.” (Hud: 88)
Seorang hamba akan selamat dari semua bencana ini jika ia senantiasa berkomitmen dengan ajaran Allah yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Az-Zuhriy berkata, “Orang-orang yang telah mendahului kita berpesan, ‘Berpegang teguh kepada Sunnah adalah keselamatan.’.”
Menurut Imam Malik, “Sunnah, ibadah, dan ketaatan itu seumpama bahtera Nabi Nuh. Barang siapa yang menaikinya akan selamat, dan barang siapa yang tidak menaikinya akan tenggelam.”
Wallahu a’lam
 
Copyright © -2012 imtihan syafii All Rights Reserved | Template Design by Favorite Blogger Templates | Blogger Tips and Tricks