"Manusia yang paling celaka adalah orang yang bergantung kepada selain Allah." (Ibnu Qayyim al-Jawziyah dalam Madarijus Salikin, 1/458)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim dinyatakan bahwa Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallama. menyebut tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari Kiamat. Pada hari itu tiada naungan selain naungan-Nya. Di antara mereka yang tujuh itu adalah:
وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ
"… orang yang hatinya tergantung di masjid-masjid."
Mensyarah hadits di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalaniy menulis: "Ini adalah isyarat bahwa hati orang itu selalu berada di masjid, meskipun tubuhnya berada di luar masjid."
Seperti apakah gambaran orang yang hatinya senantiasa tergantung di masjid? Seperti Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhariy. Apabila Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam membantu pekerjaan rumah tangga keluarga beliau lalu masuk waktu shalat, beliau segera menuju shalat. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau sedang bercengkrama dengan salah satu istri beliau. Begitu terdengar kumandang adzan, air muka beliau berubah dan seakan-akan beliau tidak mengenal istri beliau itu.
Atau seperti salah seorang salaf yang bekerja sebagai perajin perhiasan emas. Saat dia mengangkat palu kecilnya, lalu terdengar adzan, serta merta dia meletakkan palunya itu. Dia tidak mempedulikan apa pun yang ada di sekitarnya selain seruan adzan. Dia pun bergegas menyambut seruan itu.
Bukan hanya shalat
Dewasa ini, sebagian orang merasa sudah menjadi bagian dari orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari tiada naungan selain Allah hanya dengan mengerjakan shalat lima waktu berjamaah di masjid. Mereka keliru. Orang yang hatinya tergantung di masjid bukan berarti dia hanya memikirkan shalat dan tidak mengindahkan perintah Allah yang lain. Disebutnya masjid di sini lantaran masjid adalah tempat seorang muslim menunaikan shalat, sementara shalat adalah amalan yang paling agung secara mutlak—sebagimana dinyatakan oleh Ibnu Qayyim al-Jawziyah.
Bukanlah orang yang hatinya tergantung di masjid—meskipun dia mengerjakan shalat lima waktu di masjid—apabila dia tidak menjaga pandangan matanya dan pergaulannya. Sebab Allah telah berfirman,
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itulebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (an-Nuur: 30)
“Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.”(al-Isra`: 32)
Bukanlah orang yang hatinya tergantung di masjid apabila dia tidak malu berbuat korupsi. Sebab Allah telah berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” (an-Nisa`: 29)
“Orang laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (al-Maidah: 38)
Bukanlah orang yang hatinya tergantung di masjid apabila dia masih menikmati makanan, minuman, dan pakaian dari hasil riba. Sebab Allah telah berfirman,
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)
Bukanlah orang yang hatinya tergantung di masjid apabila dia masih mau minum arak dan berjudi. Sebab Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minum arak, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung.” (Al-Maidah: 90)
Para ulama menyatakan, makna hati seseorang tergantung di masjid adalah bahwa orang ini senantiasa berhubungan dengan Allah. Tidak pernah terputus dari-Nya meski sesaat. Segala perintah dan larangan Allah senantiasa terngiang-ngiang di telinganya, senantiasa dihadirkan di hatinya. Tak terbersit di benaknya untuk bermaksiat kepada-Nya atau melanggar aturan-Nya.
Kita butuh taat
Seorang hamba yang hatinya bergantung kepada Allah, meskipun dia sibuk dengan dagangannya, keluarganya, atau berbagai urusan duniawi lainnya, dia senantiasa menjaga ketaatan kepada Allah dan mendahulukan apa saja yang dicintai-Nya. Berbagai keindahan dan kelezatan dunia tidak melalaikannya dari upayanya mencari keridhaan Allah.
Yang demikian itu karena sebenarnya setiap orang butuh kepada berbagai ketaatan dan berbagai hal yang dicintai oleh Allah. Allah tidak butuh kepada segala bentuk ketaatan dan ibadah kita.
Sungguh, dalam ketaatan dan berbagai hal yang dicintai oleh Allah ada kemaslahatan bagi kita. Karena Allah Mahatahu bahwa kebaikan kita ada dalam ketaatan kepada-Nya, maka Dia memerintahkan kita untuk mentaati-Nya. Karena Allah Mahatahu bahwa kecelakaan kita—di dunia dan di akhirat—ada pada kemaksiatan dan berbagai larangan-Nya, maka Dia memerintahkan kita untuk menjauhi-Nya. Maka sungguh, kita butuh taat kepada Allah. Kita butuh bergantung kepada Allah. (imtihan syafii)